ANTI SOSIAL!?
“Hm, Lisa.” Aku melihat sebentar. Oh, Kesha. Batinku. “Ya. Ada apa?” Aku menjawab sekenanya lalu
kembali sibuk dengan bacaan di hadapanku. “Mmm… kata teman-teman yang lain,
kamu ketua kelompok 2. Mm, lalu kemarin..” Belum selesai gadis itu berkata, aku
menghentikan bacaanku dengan spontan “Kelompok?” tanyaku penasaran dengan ucapannya.
“Iya. Itu, kelompok kesenian. Kemarinkan sudah diberitahu Pak Pendi.Tapi karena
kemarin aku gak masuk..”
Lagi-lagi aku memotong pembicaraan.”Pak Pendi?” Sontak aku berdiri dari kursi kayu yang
sejak jam pertama hingga jam kelima telah ku duduki. Aku meninggalkan Ruang
kelas, bacaanku dan gadis itu. Tapi ini
lebih penting! Istirahat pertama itu aku sudah dibuatnya kesal.
Aku berjalan cepat menuju ruang kesenian, melewati 2 anak tangga sekaligus, menyusuri
koridor tanpa menghiraukan kedaan sekitar.
Akhirnya aku pun sampai tepat di
depan Ruang kesenian yang terletak di Taman belakang Gedung sekolah. BRAAK!
Tanpa sopan-santun aku mendobrak pintu ruangan yang tidak terkunci itu. Aku
melihat sekitar, mencari bayangannya, lalu kudapatkan ia.
Seorang lelaki kurus dan tinggi berdiri di dekat jendela
terbuka, sibuk dengan rokok yang sudah pendek telah habis dihisapnya. Ruangan
kesenian itu tercium jelas asap rokok karenanya. Aku menatapnya kesal. “Ah.
Sudah ku duga, kamu pasti akan datang kemari.” Lelaki itu berkata sembari
tersenyum penuh makna. Aku yang tak sabaran segera mengutarakan maksud
kedatanganku, “Apa maksudnya menjadikan aku sebagai ketua kelompok !?”
Telah ku utarakan semua uneg-uneg, melepas segala beban di pikiranku.
Telah ku utarakan semua uneg-uneg, melepas segala beban di pikiranku.
“Sudah?” Lelaki itu berkata tanpa melihat lawan bicaranya langsung.
Sekuat tenaga kuungkapkan perasaan kesal ku padanya, dia hanya menjawab Sudah?
Kesalku seakan bertambah 2 kali lipat dari sebelumnya. Aku mendekati lelaki itu. Lalu dengan cepat merebut rokok diantara jemari kanannya.”Ei! Itu rokok pertamaku hari ini. Lisa!”
Aku mematikan ujung sumbu yang masih menyala, mematikan tepat di hadapannya. Bagaikan orang yang kalah dalam taruhan, ia kecewa serta kesal atas perbuatanku. Tapi kelicikannya tidak berhenti sampai disitu, hanya karena ia kehilangan sepuntung rokok.
Ia lalu duduk di pinggiran jendela terbuka itu, balas menatapku tajam “Anak muda seharusnya menghormati yang lebih tua.”
Ingin rasanya aku mendorongnya keluar jendela saat itu juga, “Itu harusnya berlaku untuk mu! Kamu lupa? Kamu itu keponakanku!”
Sekuat tenaga kuungkapkan perasaan kesal ku padanya, dia hanya menjawab Sudah?
Kesalku seakan bertambah 2 kali lipat dari sebelumnya. Aku mendekati lelaki itu. Lalu dengan cepat merebut rokok diantara jemari kanannya.”Ei! Itu rokok pertamaku hari ini. Lisa!”
Aku mematikan ujung sumbu yang masih menyala, mematikan tepat di hadapannya. Bagaikan orang yang kalah dalam taruhan, ia kecewa serta kesal atas perbuatanku. Tapi kelicikannya tidak berhenti sampai disitu, hanya karena ia kehilangan sepuntung rokok.
Ia lalu duduk di pinggiran jendela terbuka itu, balas menatapku tajam “Anak muda seharusnya menghormati yang lebih tua.”
Ingin rasanya aku mendorongnya keluar jendela saat itu juga, “Itu harusnya berlaku untuk mu! Kamu lupa? Kamu itu keponakanku!”
Bagiku, mengatainya sebagai ‘keponakanku’ itu terasa aneh. Untuk seorang yang
sudah berumur 24 tahun sedang aku yang lebih muda 8 tahun dari dia adalah
tantenya. Dia melihatku dengan tatapan heran, entah ia takjub dengan ungkapanku
yang begitu percaya diri atau sedang menahan tawanya yang akan meledak. Dia lalu
tersenyum lebar hingga ke-2 pipinya terangkat, seraya berkata “Tante…”
Itu yang terakhir, sekarang aku benar-benar sudah tak kuasa menahan kekesalanku. Dengan cepat, aku menginjak kakinya, dan menendang tulang keringnya. “Ahhh! Tante, apa yang kau lakukan!?”
“Diam! Jangan memanggilku tante lagi! Sudah ku bilang kalau di Sekolah jangan panggil aku tante, Fendi!” Aku mengejarnya yang lari pontang-panting kesakitan, namun tanpa disadari kami hanya mengitari Ruangan kesenian.
Hingga, tiba saat aku sudah akan menangkapnya, pintu Ruang kesenian terbuka dari luar. Tanpa aku duga, seseorang yang baru-baru ini aku kenal, muncul.
Itu yang terakhir, sekarang aku benar-benar sudah tak kuasa menahan kekesalanku. Dengan cepat, aku menginjak kakinya, dan menendang tulang keringnya. “Ahhh! Tante, apa yang kau lakukan!?”
“Diam! Jangan memanggilku tante lagi! Sudah ku bilang kalau di Sekolah jangan panggil aku tante, Fendi!” Aku mengejarnya yang lari pontang-panting kesakitan, namun tanpa disadari kami hanya mengitari Ruangan kesenian.
Hingga, tiba saat aku sudah akan menangkapnya, pintu Ruang kesenian terbuka dari luar. Tanpa aku duga, seseorang yang baru-baru ini aku kenal, muncul.
“Wah! Ke-sha! Kebetulan sekali, akhirnya kamu datang juga.” Fendi menyambut
hangat kedatangan Kesha, seakan ia telah berencana untuk mengundangnya. Kesha
sebaliknya, namun ia tetap membalas sambutan Fendi. “Iya, Pak. Permisi. Maaf
menggangu. Saya ingin menanyakan tentang pembagian kelompok kesenian kemarin,”
belum selesai ia dengan pertanyaan, Kesha menatapku. “Hai. Maaf. Apa aku
mengganggu?” Aku melihat ke arahnya sebentar, lalu beranjak pergi meninggalkan
Ruang kesenian tanpa membalas sapa atau pun pertanyaan yang ia ajukan, namun
aku teringat satu hal penting. Kemudian aku berbalik kembali.
“Fendi! Jangan lupa! Pokoknya, hapus aku dari posisi ketua kelompok 2. Aku hanya mau menjadi anggota! Harus!” Aku berkata dengan suara lantang pada Fendi tanpa memedulikan kehadiran Kesha di situ. “Kalau kamu terus menerus seperti itu, menarik diri dari suatu masalah. Tidak akan ada perubahan.” Fendi berkata sembari menatapku. Aku mengerti maksud dari perkataannya, tapi aku menolak saran itu lalu bersiap kembali ke kelas.
“Fendi! Jangan lupa! Pokoknya, hapus aku dari posisi ketua kelompok 2. Aku hanya mau menjadi anggota! Harus!” Aku berkata dengan suara lantang pada Fendi tanpa memedulikan kehadiran Kesha di situ. “Kalau kamu terus menerus seperti itu, menarik diri dari suatu masalah. Tidak akan ada perubahan.” Fendi berkata sembari menatapku. Aku mengerti maksud dari perkataannya, tapi aku menolak saran itu lalu bersiap kembali ke kelas.
Baru saja aku akan beranjak. Tiba-tiba Fendi mengatakan
hal yang tak ingin aku ingat kembali,“Hanya karena sewaktu SD kamu dikhianati
oleh sahabatmu atau sewaktu SMP kamu di maki oleh teman satu kelompok mu,
karena sebagai ketua kamu berlaku seenaknya?” traumaku yang mendalam. Saat itu
emosiku mulai tak terkendali, pikiranku kacau. Aku berputar kembali menuju
tempat di mana Fendi berdiri, dan lalu menamparnya keras. PLAKK!
Aku merasakan kehadiran Kesha, berdiri tak jauh dariku yang juga melihat kejadian itu. Tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk berkompromi dengan Fendi. Saat itu pun air mataku tak kuasa aku bendung, “Sudah puas?” Fendi berkata sambil menahan sakit yang bertubi-tubi, memegangi pipinya yang memerah.
“Lisa. Apa kamu ingin, aku mengijinkanmu untuk tidak mengikuti pelajaran setelah ini? beristirahatlah dulu di UKS. Aku akan mengantar mu..” Kesha menawarkan seraya menyentuh pelan bahuku. “Jangan sentuh aku! Biarkan aku sendiri.” Aku mundur, menjauhinya. “Maaf. Kalau begitu, kamu bisa sendiri?”
“Itu bukan urusanmu” jawabku yang lalu meninggalkan Ruangan itu, dan menuju ke Ruang UKS. Mengistirahatkan diri dari penat yang ku temui sebelumnya. Hari ini begitu banyak hal yang tak aku suka. Aku tak ingin, setelah ini akan ada hal yang sama terjadi lagi. Seperti saat itu.
Aku merasakan kehadiran Kesha, berdiri tak jauh dariku yang juga melihat kejadian itu. Tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk berkompromi dengan Fendi. Saat itu pun air mataku tak kuasa aku bendung, “Sudah puas?” Fendi berkata sambil menahan sakit yang bertubi-tubi, memegangi pipinya yang memerah.
“Lisa. Apa kamu ingin, aku mengijinkanmu untuk tidak mengikuti pelajaran setelah ini? beristirahatlah dulu di UKS. Aku akan mengantar mu..” Kesha menawarkan seraya menyentuh pelan bahuku. “Jangan sentuh aku! Biarkan aku sendiri.” Aku mundur, menjauhinya. “Maaf. Kalau begitu, kamu bisa sendiri?”
“Itu bukan urusanmu” jawabku yang lalu meninggalkan Ruangan itu, dan menuju ke Ruang UKS. Mengistirahatkan diri dari penat yang ku temui sebelumnya. Hari ini begitu banyak hal yang tak aku suka. Aku tak ingin, setelah ini akan ada hal yang sama terjadi lagi. Seperti saat itu.
***
Tempat yang begitu familiar. “Lisa! Ayo cepat! Nanti kita telat lagi!” Suara dan Ruang kelas yang familiar. “Seperti biasa, kalian pasti telat terus. Kalau sampai besok terlambat lagi, saya tidak akan memberi toleransi.” “Hahaha.. Nina tukang telat. Besok telat lagi ya...” Nina… Wajahmu terlihat ingin menangis.
“Nina? Kemarin kamu pulang duluan, tidak biasanya. Hari ini juga kamu berangkat lebih dulu. Apa kamu ada urusan?” Dia tak menjawab pertanyaanku. “Nina! Ayo ke Kantin!” Dia pergi. Wenda dan kawan-kawannya? Lisa, kenapa kamu lebih memilih mereka?
Cahaya yang menyoroti wajah sedihnya, tak akan pernah ku lupakan. Nina sahabatku. “Nina? Ada apa denganmu?”
“Lisa…” Pelukan terakhir darimu, yang tak akan pernah ku lupakan. Keluh kesah, itu juga.
Nina kembali lagi padaku. Tidak apa aku dikucilkan, tak punya teman, dicaci makipun juga tak apa. Karena, hanya dengan memilikimu, itu sudah cukup bagiku. Pikirku. Tapi aku salah. Peristiwa dan kata-kata terakhirmu itu, selamanya masih terngiang di ingatanku.
“Nina, bukankah kamu sahabatnya Lisa? Dia selalu sendirian loh. Tidak apa meninggalkan dia sendiri” suara Wenda? “Dia bukan sahabatku. Dia hanya tetanggaku. Untuk apa aku berurusan dengan orang begitu, tidak disiplin, cerewet, cari perhatian, pokoknya nyebelin deh.” Nina? Itu bukan suara Nina kan? Kenapa, Nina?
Tempat yang begitu familiar. “Lisa! Ayo cepat! Nanti kita telat lagi!” Suara dan Ruang kelas yang familiar. “Seperti biasa, kalian pasti telat terus. Kalau sampai besok terlambat lagi, saya tidak akan memberi toleransi.” “Hahaha.. Nina tukang telat. Besok telat lagi ya...” Nina… Wajahmu terlihat ingin menangis.
“Nina? Kemarin kamu pulang duluan, tidak biasanya. Hari ini juga kamu berangkat lebih dulu. Apa kamu ada urusan?” Dia tak menjawab pertanyaanku. “Nina! Ayo ke Kantin!” Dia pergi. Wenda dan kawan-kawannya? Lisa, kenapa kamu lebih memilih mereka?
Cahaya yang menyoroti wajah sedihnya, tak akan pernah ku lupakan. Nina sahabatku. “Nina? Ada apa denganmu?”
“Lisa…” Pelukan terakhir darimu, yang tak akan pernah ku lupakan. Keluh kesah, itu juga.
Nina kembali lagi padaku. Tidak apa aku dikucilkan, tak punya teman, dicaci makipun juga tak apa. Karena, hanya dengan memilikimu, itu sudah cukup bagiku. Pikirku. Tapi aku salah. Peristiwa dan kata-kata terakhirmu itu, selamanya masih terngiang di ingatanku.
“Nina, bukankah kamu sahabatnya Lisa? Dia selalu sendirian loh. Tidak apa meninggalkan dia sendiri” suara Wenda? “Dia bukan sahabatku. Dia hanya tetanggaku. Untuk apa aku berurusan dengan orang begitu, tidak disiplin, cerewet, cari perhatian, pokoknya nyebelin deh.” Nina? Itu bukan suara Nina kan? Kenapa, Nina?
“Nina… Kenapa?” Badanku terasa berat dan basah karena
keringat, pipiku terasa memanas. “Alis.. Alisa? Sadarlah.” Ada yang memanggilku? Saat itupun aku tersadar dari tidur dan mimpi
burukku. Seorang wanita berumur dengan jas putihnya, berdiri di samping
tempatku berbaring. “Sudah merasa lebih baik?” Wanita itu terlihat ramah. “Iya.”
Wanita itu tersenyum, kemudian berlalu.
“Oh ya, tadi ada teman sekelas mu yang menjenguk. Dia juga minta tolong padaku
untuk memberikan ini padamu.” Ia memberi tahuku seraya menyerahkan sebuah
kantong plastik hitam. Akupun membukanya. Isinya
roti dan susu kotak? “Ini… Siapa? Siapa yang menitipkan barang ini?”
“Kalau tidak salah… Dia anak yang baru-baru pindah ke Sekolah ini. Kenapa?” Kesha? Ternyata, aku salah kira. “Ah. Tidak apa-apa. Terima Kasih.” Kenapa dia bisa tahu aku suka dengan susu kotak stroberi? Dasar orang aneh.
***
Setelah beristirahat cukup lama di UKS, akupun kembali ke Kelas. Berlanjut dengan pelajaran kesenian. Pelajaran yang disampaikan oleh Fendi. “Abi?”…“Hadir.” “Achiru?”…“Hadir.” “Aden?”…“Hadir.”… “Alisa?”…“Hadir.”
“Sudah sembuh?”… “Siapa?”… “Ya, kamu.”…
“Pak, kalaupun saya masih sakit, lebih baik saya beristirahat sampai jam terakhir, daripada harus mengikuti pelajaran kesenian ini.” Aku menjawab dengan tegas. “Terima kasih Alisa… lanjut, Devi?” Dan sekarang aku diperhatikan seisi kelas. Menyebalkan… Jangan melihat ke arahku!
“Kalau tidak salah… Dia anak yang baru-baru pindah ke Sekolah ini. Kenapa?” Kesha? Ternyata, aku salah kira. “Ah. Tidak apa-apa. Terima Kasih.” Kenapa dia bisa tahu aku suka dengan susu kotak stroberi? Dasar orang aneh.
***
Setelah beristirahat cukup lama di UKS, akupun kembali ke Kelas. Berlanjut dengan pelajaran kesenian. Pelajaran yang disampaikan oleh Fendi. “Abi?”…“Hadir.” “Achiru?”…“Hadir.” “Aden?”…“Hadir.”… “Alisa?”…“Hadir.”
“Sudah sembuh?”… “Siapa?”… “Ya, kamu.”…
“Pak, kalaupun saya masih sakit, lebih baik saya beristirahat sampai jam terakhir, daripada harus mengikuti pelajaran kesenian ini.” Aku menjawab dengan tegas. “Terima kasih Alisa… lanjut, Devi?” Dan sekarang aku diperhatikan seisi kelas. Menyebalkan… Jangan melihat ke arahku!
“Baik, semua sudah hadir. Hari ini kita akan melanjutkan kerja kelompok. Harap
berkumpul sesuai dengan kelompok masing-masing seperti yang sudah ditentukan
kemarin. Untuk pengumpulan terakhir ‘Desain dinding’ adalah pekan depan. Kalau
ada yang kurang dimengerti, segera tanyakan.”
Akhirnya seisi kelas mulai riuh kembali, mereka sibuk dengan kelompok mereka.
Aku tidak mengerti siapa saja anggota kelompokku, tapi aku mencari mereka dengan melihat keberadaan Kesha. Itu dia. Akupun mengikuti mereka. “Semuanya sudah berkumpul?” Kesha memastikan. Untuk seorang anak baru, dia cukup berani untuk memimpin kelompok ini. Tunggu. Jangan bilang dia… “Jadi sekarang ketuanya digantikan Kesha?” seorang dari mereka bertanya. “Iya.”
Akhirnya seisi kelas mulai riuh kembali, mereka sibuk dengan kelompok mereka.
Aku tidak mengerti siapa saja anggota kelompokku, tapi aku mencari mereka dengan melihat keberadaan Kesha. Itu dia. Akupun mengikuti mereka. “Semuanya sudah berkumpul?” Kesha memastikan. Untuk seorang anak baru, dia cukup berani untuk memimpin kelompok ini. Tunggu. Jangan bilang dia… “Jadi sekarang ketuanya digantikan Kesha?” seorang dari mereka bertanya. “Iya.”
Eh???
Dia ketuanya? Hari ini sudah cukup aku berurusan dengan
anak baru itu. Siapa dia sebenarnya? Jelmaan Malaikat? Atau, bidadari? Punya
hutang apa dia denganku? Dia terlalu baik. Atau bisa dibilang, terlalu polos.
“Untuk desain dindingnya, kita menggunakan pola yang terbuat dari pelepah pisang. Hari ini kemungkinan besar waktunya tidak cukup. Jadi, untuk melanjutkannya, hari minggu kita berkumpul di Rumahku. Ada yang keberatan?” “Sepertinya semua tidak keberatan.” Salah seorang mewakili.
“Ya sudah kalau begitu. Nanti aku konfirmasi lagi. Terima kasih atas kerja samanya ya…”
***
Senin pagi itu aku berangkat sedikit terlambat dari biasanya. Saat aku memasuki kelas, suasana terasa mencekam. “Alisa.” Baru saja aku akan duduk, tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku berbalik, kukira hanya seorang yang ingin menemuiku, ternyata sekumpulan orang yang merupakan anggota dari kelompok kesenian Rabu lalu.
“Semuanya. Ada urusan apa?” Aku memberanikan diri. “Seharusnya kami yang bertanya begitu. Ada urusan apa kamu kemarin? Sampai tidak bisa mengikuti kegiatan kelompok. Kemarin Rabu Kesha sudah mengkonfirmasi semuanya, dan semua setuju. Tapi kamu tidak hadir tanpa kejelasan ‘ada kepentingan apa? Atau ada urusan mendadak apa?’ Kan cukup memberitahu salah seorang dari kami atau Kesha.” Lagi-lagi aku diperhatikan seisi kelas, seperti kemarin. Tapi ini sedikit berbeda. “Aku ada urusan yang mendadak. Tapi aku tidak tahu, bagaimana harus menghubungi kalian.”
“Kamu kan bisa menghubungi kami lewat HP atau telpon rumah.” Fiola nama gadis itu, yang sedang bersikeras menghadapiku. “Sayang sekali. Tapi aku tidak tahu nomor HP atau telpon rumah kalian sekalipun.” Aku tersenyum menang. “Kalau begitu, kenapa tidak kamu minta saja nomor HP kami kemarin, atau tanya salah satu teman sekelas kita. Segala cara kan bisa dilakukan!” Dia mulai kehilangan kesabaran. Kenapa malah dia yang emosi?
“Untuk desain dindingnya, kita menggunakan pola yang terbuat dari pelepah pisang. Hari ini kemungkinan besar waktunya tidak cukup. Jadi, untuk melanjutkannya, hari minggu kita berkumpul di Rumahku. Ada yang keberatan?” “Sepertinya semua tidak keberatan.” Salah seorang mewakili.
“Ya sudah kalau begitu. Nanti aku konfirmasi lagi. Terima kasih atas kerja samanya ya…”
***
Senin pagi itu aku berangkat sedikit terlambat dari biasanya. Saat aku memasuki kelas, suasana terasa mencekam. “Alisa.” Baru saja aku akan duduk, tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku berbalik, kukira hanya seorang yang ingin menemuiku, ternyata sekumpulan orang yang merupakan anggota dari kelompok kesenian Rabu lalu.
“Semuanya. Ada urusan apa?” Aku memberanikan diri. “Seharusnya kami yang bertanya begitu. Ada urusan apa kamu kemarin? Sampai tidak bisa mengikuti kegiatan kelompok. Kemarin Rabu Kesha sudah mengkonfirmasi semuanya, dan semua setuju. Tapi kamu tidak hadir tanpa kejelasan ‘ada kepentingan apa? Atau ada urusan mendadak apa?’ Kan cukup memberitahu salah seorang dari kami atau Kesha.” Lagi-lagi aku diperhatikan seisi kelas, seperti kemarin. Tapi ini sedikit berbeda. “Aku ada urusan yang mendadak. Tapi aku tidak tahu, bagaimana harus menghubungi kalian.”
“Kamu kan bisa menghubungi kami lewat HP atau telpon rumah.” Fiola nama gadis itu, yang sedang bersikeras menghadapiku. “Sayang sekali. Tapi aku tidak tahu nomor HP atau telpon rumah kalian sekalipun.” Aku tersenyum menang. “Kalau begitu, kenapa tidak kamu minta saja nomor HP kami kemarin, atau tanya salah satu teman sekelas kita. Segala cara kan bisa dilakukan!” Dia mulai kehilangan kesabaran. Kenapa malah dia yang emosi?
“Begini… aku minta maaf. Karena kemarin aku benar-benar ada kepentingan
yang tidak bisa ditunda. Dan… sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak punya nomor
HP kalian, karena menurutku itu sesuatu yang benar-benar merepotkan.” Lalu
dengan santai aku meletakkan ransel yang sedari tadi bertengger dibelakangku.
Baru saja aku mau meletakannya, tiba-tiba saja tas itu ditarik olehnya, Fiolin.
“Hei! Kamu ini kenapa sih?” Gadis itu sekarang terlihat lebih ganas dari
sebelumnya. Hah…. Pagi-pagi sudah seperti
ini.
“Fiolin, Alisa. Kalian sedang apa?” Suara yang tak asing bagiku.
“Kesha. Sebagai ketua kamu harus tegas. Alis kemarin tidak ikut dalam kerja
kelompok. Kemarin, kita sudah mati-matian mengerjakannya. Sedangkan dia? Dia
hanya seenaknya saja!” Alis? Hei! Namaku
Alisa! Dasar L-ola!
“Fiolin. Kembalikan tas Lisa.” Terlihat wajah gadis itu
seakan enggan. Akhirnya ia pun menyanggupi. “Sebelumnya. Aku mau minta maaf.
Tapi ini juga untuk kepentingan kelompok kita. Aku yang salah, belum memberi
tahu kalian. Sebenarnya, aku yang menyarankan Lisa untuk tidak mengikuti kerja
kelompok yang sudah kita janjikan kemarin. Sabtu lalu dia membantuku. Setengah
dari pekerjaan yang kita kerjakan minggu itu, dia yang melakukannya. Dia
mengajariku banyak hal tentang desain. Jadi, karena dia sudah bekerja dengan
baik, aku bilang pada Lisa untuk menyerahkan setengahnya pada kita.” Mereka semua
membisu saat menyadari hal itu. Merasa malu, mereka pun akhirnya meminta maaf.
Terutama Fiolin, dia malu sejadi-jadinya. Masalahpun selesai.
Istirahat pertama, aku berencana menemui Kesha.
“Kesha.” Gadis itu balas menyapa “Ah. Iya Lisa. Ada apa?” Dia tersenyum kaku
seperti biasa. “Makasih.” Dia malah terlihat bingung. “Untuk apa?” Dia pikun atau telmi sih? “Ahaha.. tidak
apa-apa. Ya sudah kalau begitu.” Dia mendekatiku, tepat di depan wajahku. “Ada
apa sih? Bikin orang penasaran.” Aku dibuatnya kaget. Baru pertama kali ini aku
menemukan orang aneh seperti dia. Tapi, entah mengapa… aku merasa nyaman berada
di dekatnya. “Bukan apa-apa.” Entah apa yang begitu menggelitik, aku tertawa
kecil. Mungkin, karena gadis yang aneh ini. Dan karena dia… traumaku, seakan
sirna. Terima Kasih.
“Hubungan antar manusia memang merepotkan, tapi kita tak bisa hidup sendiri.“-JKT48
|

Tidak ada komentar:
Posting Komentar