KELUARGA
Malam itu, seorang
gadis kecil terus memandangi langit gelap melalui jendela berjeruji, bertirai
polos yang sengaja ia buka. Angin malam yang begitu dingin membelai, membuat
merah sipu kedua pipinya. Dia tak bisa
tidur sedari sejam yang lalu. Tapi sebab itu bukan karena angin malam yang
dingin.
“Ding..iiin” suara seorang yang ia kenal. Sesegera mungkin gadis
kecil itu menutup tirai rapat-rapat. “Maaf…” ucap si gadis kecil lirih. “kamu
belum tidur Ros?” tanyanya.
“Belum…” jawab si gadis kecil, pemilik nama ‘Rosa’ itu.
“Kenapa?”
“Belum…” jawab si gadis kecil, pemilik nama ‘Rosa’ itu.
“Kenapa?”
“Aku belum ngantuk kok. Maaf.. udah mbangunin Kak Lisa”
“Ya. Gak apa. Bener, kamu belum ngantuk?” tanyanya untuk yang ketiga kalinya..
“Iya” jawab Rosa tersenyum kecil. “Hmm…, ya udah kalau gitu. Kakak balik tidur lagi. Kamu juga cepat tidur Ros…” perintah Lisa.
“Iya Kak”
“Ya. Gak apa. Bener, kamu belum ngantuk?” tanyanya untuk yang ketiga kalinya..
“Iya” jawab Rosa tersenyum kecil. “Hmm…, ya udah kalau gitu. Kakak balik tidur lagi. Kamu juga cepat tidur Ros…” perintah Lisa.
“Iya Kak”
Sejenak gadis kecil memperhatikan punggung perempuan yang ia
kenal dengan sebutan ‘Kak Lisa’ yang telah tertidur. Namun seketika terfikir
kembali hal itu. Lagi.
“Kak… ” panggil si gadis kecil lirih, tapi tak ada jawab. “Kak
Lisa… kata Fika. Kalo kita punya ibu, kita bisa makan makanan enak, terus kalo
sakit, ‘ibu’ perhatian. Apa aja yang
kita mau, bakal dikasih. Aku tahu Kak… itu gak mungkin. Tapi aku mau diulang
tahunku yang ke-6 besok bisa ketemu ibu. Kalau cuman nglihat aja, juga gak
apa-apa.” Ungkap gadis kecil dalam monolog.
“Hmm…“
“Kak Lisa?”
“Kak Lisa?”
Sebenarnya Lisa memang sudah terjaga sejak gadis kecil itu tak
sengaja membuatnya terbangun.“Rosa… Kan Kakak dah bilang berapa kali biar kamu
tahu. Tadi kamu bilang udah tahu, tapi tetap kerasa kepala. Sudah pasti kita
gak bisa bertemu. Karena kita tidak punya… Terus, kamu gak usah dengerin ceritanya si Fika.” Lisa dengan nada
sedikit kesal, karena emosi yang belum stabil sebab sedari bangun tidur.
“Hm. Iya kak, maaf.” Rosa
yang menyesal. “Ya, udah. Gak apa-apa. Sekarang kamu tidur, besok kita
kan bakal ada acara. “ Ungkap Lisa dengan senyum penuh arti. “Oh, ya Dek. Kalau
besok Kakak gak bisa ngasih kado yang sesuai dengan yang Adek mau. Coba kamu
minta sama yang di atas. Percaya deh, pasti dikabulin” saran Lisa.
“Bisa?” Tanya Rosa dengan polosnya. “Bisa dong!” Jawab Lisa
yakin. Rosa tersenyum lebar.
Akhirnya Rosa pun memutuskan untuk segera tidur. Agar acara
esok yang ia nanti-nanti sesuai dengan apa yang ia harapkan.
Rosa memandang langit-langit kamar yang tak nampak, sambil
memohon kepada Yang Maha Kuasa, “Semoga besok aku bertemu Ibu. Tapi kan
mustahil. Kalo gitu, aku mau bertemu keluargaku. Tapi kan di sini juga udah ada
keluargaku. Hah… terus, minta apa? Kalo gitu,” mohonnya dalam batin sembari
berfikir matang-matang apa yang ia harapkan.
“Semoga aku bertemu dengan keluargaku yang sudah sekian lama
tidak bertemu, siapapun! Kalo gak, yang penting keluargaku yang belum pernah
aku temui juga gak apa-apa. Siapapun!”
***
01 Januari
2002 : 08.00
Pagi yang cerah menyambut secercah senyum itu. Di Panti
Asuhan ‘Kasih Ibu’.
“Eii… bangun Ros. Udah jam 8, inget gak, ini hari apa?” Lisa
mencoba membangunkan Rosa si pemalas untuk yang kesekian kalinya, kali ini
dengan sekuat tenaga dan tanpa ampun.
“Hmm!” Rosa yang kesal karena Lisa membangunkannya dengan
cara yang berbeda. Yaitu menggelitikinya. “Ahhh! KAK! Hahaha… GELI!” Rosa mulai
tak tahan. Dan akhirnya, menyerah. “Iya, iya aku bangun. Udahan!” Pinta Rosa.
“Nah… anak pintar. Sekarang mandi, terus bantu-bantu yang
lain di luar. Semua pada sibuk nyiapin acaranya. Hari ini bukan cuman kamu yang
dirayain. Jadi jangan manja ya Adek Rosa” jelas Lisa. “Iya iya iya…” jawab
Rosa.
Setelah selesai dengan urusan pembersihan diri, selanjutnya
Rosa pun ikut membantu. Lisa menyarankan Rosa untuk membantu dalam urusan
dekorasi bersama saudara sebayanya dan dibantu oleh beberapa Kakak yang juga
menuntun mereka. Melipat kertas origami, meniup balon, menggunting kertas, dan
memajang dekorasi yang telah siap. Semua melakukan tugas masing-masing dengan
senang hati.
“Ros, hari ini bakal ada yang datang loh…” Tiba-tiba saja Bu
Rahmah mengatakan sesuatu sembari menepuk pundak Rosa disaat ia sedang asyiknya
meniup balon. Dan berhasil mengagetkan Rosa walaupun tak ada niat untuk
melakukannya. “Ah! Bu Rahmah?”
“Kamu pasti seneng.”
Bu Rahmah melanjutkan ucapannya barusan. “Ada yang datang? Siapa?” Rosa sama
sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya beliau katakan.
“Loh, belum tahu toh nduk?” tanya Bu Rahmah dengan heran.
Rosa yang polos tetap diam. Mencoba menerka apa yang sebenarnya Bu Rahmah
maksudkan. Tapi semakin ia berfikir, semakin ia tak mampu menemukan jawabannya.
“Ya sudah, kalo gitu. Nanti Rosa liat aja sendiri. Biar
Surprise, ya?” Bu Rahmah menyarankan. “Emang, siapa Bu? Siapa?” Rosalia yang
mulai dipenuhi rasa penasaran, sudah sampai pada puncak kesabaran.
“Bu Rahmah! Minta tolong ke sini sebentar, boleh?” terdengar
suara wanita memanggil yang sumbernya berasal dari dapur. “Oh! Nggih Bu!” Bu
Rahmah menyanggupi. Dan akhirnya Bu
Rahmah pergi dengan meninggalkan gadis kecil itu yang dipenuhi rasa penasaran.
Disaat yang sama, “Ros, temani Kak Lisa ke Supermarket sebentar. Mau?” Lisa juga muncul disaat yang
tak terduga. “Ah! Iya Kak!” Dalam waktu singkat Rosa melupakan percakapannya
dengan Bu Rahamah.
***
01 Januari
2002 : 08.30
Rosalia Fernanda, sebentar lagi aku akan menjemputnya. Ternyata makan waktu cukup lama untuk
mencapai ke tempat itu. Sedangkan aku berangkat mulai pukul 7. Aku begitu
gugup.
“Umurnya sekarang 6 tahun ya? Jadi anak itu pasti suka
mainan” gumamku sembari mengemudikan mobil yang melaju dengan pasti.
Dipikir-pikir, jarang sekali aku ini berkomunikasi dengan anak kecil. Bagaimana
nantinya kalau aku bertemu Rosalia, berbicara, atau berperilaku padanya? Hhah… Sinta. Andai kamu masih ada di sisiku.
***
01 Januari
2002 : 08.50
Rosa dan
Lisa telah kembali setelah keperluan mereka. Saat mereka sedang akan memasuki rumah,
Rosa terus mengalihkan perhatiannya pada mobil hitam yang sudah terparkir sejak
sebelum kembalinya mereka dari berbelanja.
“Ah… akhirnya kita sampai rumah. Capek banget ya Ros.” Rosa
pun mengalihkan pandangannya pada Lisa.
“Mau minum Kak, ke dapur yuk!” pinta Rosa. “Ah! Ayo Dek.”
Keadaan saat itu begitu ramainya, hingga Rosa tak sempat untuk memikirkan siapa pemilik mobil itu.
Keadaan saat itu begitu ramainya, hingga Rosa tak sempat untuk memikirkan siapa pemilik mobil itu.
Sekembalinya Rosa dan Lisa, semua sudah siap pada tempatnya.
Tak lama mereka pergi, tapi urusan telah terselesaikan. Karena acara itu
bertepatan setelah perayaan tahun baru, kemeriahan terompet masih bergema.
Kebahagiaan pun juga turut bergema. Setiap tahunnya, Panti Asuhan ‘Kasih Ibu’
merayakan hari kelahiran mereka bersama-sama. Jika bulan kelahiran mereka
bersamaan, maka mereka akan merayakan diawal, atau dipertengahan bulan
tersebut. Kebersamaan yang begitu harmonis.
“Nah, ayo semua kumpul-kumpul sini! Nida, Oki, Eva, Dan Rosa.
Kalian berdiri di belakang sini” perintah Bu Rahmah dan Rosa mengikuti
arahannya.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini acara perayaan ulang tahun terasa lebih meriah.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini acara perayaan ulang tahun terasa lebih meriah.
Rosa sedari tadi hanya terdiam, sedang yang lain menyanyikan
lagu ulang tahun dengan gembiranya. Rosa memandang sekitar, entah apa yang ia
cari. Dan disaat itu, ia menangkap satu sosok yang menarik perhatiaannya sama seperti
saat ia memperhatikan si mobil hitam. Seorang lelaki berkacamata dengan setelan
kemeja putih serta jas hitam. Dalam keramaian, sosok itu terbilang mencolok.
Cukup lama Rosa menatap tajam pada lelaki berkacamata itu.
Tak selang berapa lama, sosok itu menyadari bahwa Rosa sedang memperhatikannya.
Tak selang berapa lama, sosok itu menyadari bahwa Rosa sedang memperhatikannya.
“Ros, kok diem aja? Ikut tiup lilinnya juga ya.” Bu Rahmah
menegur Rosa yang sedari tadi hanya diam, seakan tak menikmati acara tersebut.
Membuat Bu Rahmah khawatir.
Rosa tersadar. Kemudian ia pun juga mengikuti ketiga saudaranya meniup lilin.
Setelah usai, Rosa berbalik lagi mengalihkan pandangannya pada sosok itu. Namun hasilnya nihil, ia tak menemukannya.
Rosa tersadar. Kemudian ia pun juga mengikuti ketiga saudaranya meniup lilin.
Setelah usai, Rosa berbalik lagi mengalihkan pandangannya pada sosok itu. Namun hasilnya nihil, ia tak menemukannya.
***
“Rosa! Ayo,
ke sini!” terdengar suara Bu Rahmah dari
teras depan. Rosa yang sedang asyik dengan
saudara-saudaranya, lalu mencari sang pemilik suara. “Itu Bu Rahmah di
Teras depan” Lisa mengerti maksud gerak-gerik Rosa. Rosa tersenyum. “Makasih
kak.”
Rosa pun menyusul Bu Rahmah yang berada di Teras depan, tak
tau apa yang sebenarnya Bu Rahmah inginkan. Rosa hanya menyanggupi.
“Bu Rahmah, ada a..” belum selesai ia bertanya, Rosa mengalihkan pandangannya pada seorang selain Bu Rahmah, yang juga ikut duduk di kursi Teras depan itu.
“Bu Rahmah, ada a..” belum selesai ia bertanya, Rosa mengalihkan pandangannya pada seorang selain Bu Rahmah, yang juga ikut duduk di kursi Teras depan itu.
Sosok yang beberapa waktu lalu Rosa lihat, yang kemudian hilang dan sekarang
sosok itu berada dihadapannya. “Hai Rosalia!” Lelaki itu menyapanya dengan
senyuman ramah tanpa pamrih. “Ah. Ee… ehm… hha.. lo!” Rosa berusaha membalas
sapaan orang tersebut, tapi terasa begitu sulit baginya yang baru mengenal
seseorang. Bu Rahmah tersenyum, memaklumi Rosa.
“Rosa masih inget kan? Waktu Ibu bilang, bakal ada yang
datang.” Bu Rahmah angkat bicara. Akhirnya Rosa teringat kembali
perbincangannya dengan Bu Rahmah. “Oh, yang waktu itu. Terus siapa yang Bu
Rahmah maksud?” Rosa mulai bersemangat kembali.
Bu Rahmah melihat ke arah yang tertuju pada lelaki
berkacamata itu. Rosa pun juga mengikuti arah pandang Bu Rahmah. Tapi Rosa
tetap tak mengerti isyarat yang Bu Rahmah berikan. Akhirnya Bu Rahmah
memberikan penjelasan. “Dia orang yang Ibu bilang, ‘akan datang ke acara ulang
tahun mu’.”
Lelaki berkacamata itu tersenyum kembali, lalu ia beranjak
dari kursinya dan bersimpuh menyejerkan tingginya dengan Rosa. Sontak Rosa
sedikit ragu dan mundur selangkah dari tempat ia berdiri sebelumnya.
“Ah, maaf sudah mengagetkanmu. Rosalia, perkenalkan. Namaku
Reza. Saudara dari Ibu kandungmu, atau kamu juga bisa menyebutku ‘Paman’. Itu
terserah Rosalia sendiri mau memanggilku dengan sebutan apa. Tapi sebelumnya Paman
mau mengucapkan ‘selamat ulang tahun yang ke-6’ semoga menjadi yang terbaik
dari yang terbaik.” Lelaki itu berkata sembari menyerahkan sebuah kotak besar
yang terbungkus kertas berwarna merah muda dengan pita merah di atasnya.
“Ini… “ Rosa merasa tak yakin kotak itu ditujukan padanya.
“Untuk kamu Ros.” Lelaki itu meyakinkannya sekali lagi. Bahwa benda itu kini milik Rosalia seutuhnya. Rosalia begitu senang, namun ia malu mengekspresikan kesenangannya pada orang asing yang ia kenal dengan sebutan ‘Paman Reza’. Meskipun ia baru mengenal lelaki itu, tapi ia yakin bahwa Paman Reza adalah sosok orang yang begitu dermawan.
“Untuk kamu Ros.” Lelaki itu meyakinkannya sekali lagi. Bahwa benda itu kini milik Rosalia seutuhnya. Rosalia begitu senang, namun ia malu mengekspresikan kesenangannya pada orang asing yang ia kenal dengan sebutan ‘Paman Reza’. Meskipun ia baru mengenal lelaki itu, tapi ia yakin bahwa Paman Reza adalah sosok orang yang begitu dermawan.
Bu Rahmah tersenyum melihat keakraban mereka. Namun juga ada
sedikit kesedihan dalam hatinya. “Rosa. Bagaimana jika Paman Reza yang
merawatmu?” Tiba-tiba saja Bu Rahmah mengatakan suatu hal yang menarik
perhatian Rosa.“Maksud Ibu?”
“Sebenarnya, Pamanmu kemari bukan hanya untuk merayakan ulang
tahunmu.” Bu Rahmah setengah menjelaskan. “Paman kemari, juga untuk
menjemputmu.” Reza melanjutkan penjelasan Bu Rahmah. “Menjemput?” Rosa masih
belum mengerti maksud dari pembicaraan mereka.
“Kamu akan tinggal bersama Paman Reza, di Rumahnya. Dia yang
akan merawatmu menggantikan Ibumu. Mengadopsimu. Dan juga, karena pamanmu masih
berhubungan dengan keluargamu yang sebelumnya. Jadi… ” Bu Rahmah memberi
maksud. “Tapi aku juga punya keluarga di sini. Kak Lisa, Bu Rahmah, Fika, Nida,
Eva… kakak dan adik-adik yang lain juga. Semua keluargaku” Rosa juga mencoba
menjelaskan.
Bu Rahmah mengerti keadaan Rosa. Tapi ia juga tahu betapa ingin Rosa bertemu dengan keluarganya yang sesungguhnya.
Bu Rahmah mengerti keadaan Rosa. Tapi ia juga tahu betapa ingin Rosa bertemu dengan keluarganya yang sesungguhnya.
“Tapi, Paman itulah keluargamu yang sesungguhnya Rosa.” Lisa
muncul, di tengah perbincangan mereka. “Mereka, adalah keluargamu yang sudah
ada, sebelum kamu bertemu kami. Keluarga yang sesungguhnya. Kalau mereka tidak
ada di dunia ini, kamu juga tidak mungkin ada. Dan kamu juga tidak akan bisa
bertemu kami. Jadi, kembalilah ke keluargamu dan jangan lupakan kami di sini.
Ok? Rosa.”
Sesaat Rosa mampu menahan tangisannya. Tapi, kemunculan Lisa
membuatnya tak kuasa menahan tangis. Sebentar Reza melihat ke arah Lisa dan
melemparkan senyuman dengan maksud berterima kasih, Lisa pun juga membalas
senyuman itu.
***
“Semua
sudah?”
“Iya.”
“Nggak ada yang ketinggalan?”
“Ya, kayaknya sudah nggak ada Kak.”
“Iya.”
“Nggak ada yang ketinggalan?”
“Ya, kayaknya sudah nggak ada Kak.”
“Rosa. Sudah siap?” Bu Rahmah masuk ke kamar Rosa untuk memastikan kesiapannya. “Iya. Sudah.”
“Lisa. Tolong bawakan sebagian barang Rosa. Terus simpan di bagasi mobil yang terparkir di depan.” Perintah Bu Rahmah. Tanpa membuang waktu Lisa segera melaksanakan tugasnya. Bu Rahmah dan Rosa juga tak ketinggalan segera menyusul.
“Lisa. Tolong bawakan sebagian barang Rosa. Terus simpan di bagasi mobil yang terparkir di depan.” Perintah Bu Rahmah. Tanpa membuang waktu Lisa segera melaksanakan tugasnya. Bu Rahmah dan Rosa juga tak ketinggalan segera menyusul.
Seluruh penghuni Panti Asuhan ‘Kasih ibu’ telah berkumpul di
Teras depan sejak tadi. Menunggu Sang tokoh utama keluar. Reza juga tak kalah.
Ia menunggu keluarnya Rosa, sambil membantu membawakan barang keperluan Rosa yang
kemudian ia singgahkan di Bagasi.
Dan Sang tokoh utama pun keluar. Semua diam. Hening menambah
kepekatan udara malam. “Mulai hari ini. Rosa akan tinggal bersama Pamannya. Dia
akan dirawat oleh keluarganya langsung.” Bu Rahmah memberi kumandang informasi.
Sekali lagi Rosa tak mampu menahan tangis. Dan yang lain pun ikut merasakan apa yang Rosa rasakan. Kemudian Rosa memeluk dan bersalaman dengan mereka, satu per satu. Sebagai tanda perpisahan, serta perjumpaan bagi mereka kelak nanti.
Berlanjut, Bu Rahmah, dan terakhir Lisa. “Baik-baik ya… jangan ngrepotin Pamanmu. Karena dia sendiri yang akan menjaga kamu. Kalau ada waktu, sempatkan untuk singgah ke sini. Semua pasti rindu sama kamu ‘si cerewet’. Hehehe… “ Lisa menasihati Rosa untuk kesekian kalinya.
Sekali lagi Rosa tak mampu menahan tangis. Dan yang lain pun ikut merasakan apa yang Rosa rasakan. Kemudian Rosa memeluk dan bersalaman dengan mereka, satu per satu. Sebagai tanda perpisahan, serta perjumpaan bagi mereka kelak nanti.
Berlanjut, Bu Rahmah, dan terakhir Lisa. “Baik-baik ya… jangan ngrepotin Pamanmu. Karena dia sendiri yang akan menjaga kamu. Kalau ada waktu, sempatkan untuk singgah ke sini. Semua pasti rindu sama kamu ‘si cerewet’. Hehehe… “ Lisa menasihati Rosa untuk kesekian kalinya.
“Rosa. Pamanmu sudah menunggu di mobil.” Bu Rahmah
mengingatkan. “Ah. Iya Bu.”
Rosa pun beranjak dengan sedikit perasaan tak rela. Lalu ia masuk dan duduk tepat di sebelah bangku kemudi. “Maaf Ros. Paman, nggak bermaksud memisahkan kamu dengan keluargamu.”
“Nggak apa-apa. Lagi pula aku sudah memutuskan pilihanku. Paman kan juga keluargaku” Rosa berusaha untuk tersenyum dan menahan kesedihannya. Karena, jika ia terus terlihat menyedihkan, itu hanya akan membuat Pamannya merasa bersalah.
Rosa pun beranjak dengan sedikit perasaan tak rela. Lalu ia masuk dan duduk tepat di sebelah bangku kemudi. “Maaf Ros. Paman, nggak bermaksud memisahkan kamu dengan keluargamu.”
“Nggak apa-apa. Lagi pula aku sudah memutuskan pilihanku. Paman kan juga keluargaku” Rosa berusaha untuk tersenyum dan menahan kesedihannya. Karena, jika ia terus terlihat menyedihkan, itu hanya akan membuat Pamannya merasa bersalah.
“Rosa, Daaah..! Hiks.” Fika melambaikan tangannya sambil
menahan isak tangis karena ditinggal oleh saudara yang juga sudah seperti
sahabat karib baginya. Melalui jendela mobil yang terbuka, Rosa pun ikut melambaikan
tangan. “Terima kasih semua.” Dan kaca mobil menutup kembali.
***
“Tak terasa,
waktu begitu cepat. Bagaikan aliran air, dan aku adalah daun kering yang
terbawa olehnya. Begitu rapuh, juga mudah terombang-ambing oleh arusnya. “
“Dan kini, aku di sini. Jika ku putar kembali waktu, dulu seakan seperti mimpi dalam tidurku.”
“Tuhan mempertemukanku dengannya, kini seakan peristiwa itu terasa biasa bagiku.”
“Tapi, jika aku memutar kembali waktu dulu. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, peristiwa itu seakan ajaib bagiku. Luar Biasa.”
“Dan kini, aku di sini. Jika ku putar kembali waktu, dulu seakan seperti mimpi dalam tidurku.”
“Tuhan mempertemukanku dengannya, kini seakan peristiwa itu terasa biasa bagiku.”
“Tapi, jika aku memutar kembali waktu dulu. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, peristiwa itu seakan ajaib bagiku. Luar Biasa.”
“Sabtu, tiga puluh satu Desember. Dua ribu sebelas… “ Aku
Rosalia Fernanda, siswi kelas 3 SMP. Kehidupan baru ku berawal sejak aku
tinggal bersama Pamanku, Reza Anan (32). Dia seorang penulis novel. Paman yang
cukup bertanggung jawab atas hidup dan mati keponakannya. Kurang lebih sudah 9
tahun lamanya. Sebelum aku tinggal bersamanya, sudah ada seseorang yang berada
di sisinya. Tapi kini, sosok itu telah tiada tidak lama sebelum ia menjemputku
dulu. Sosok yang dicintai oleh pamanku, istri yang begitu dicintainya.
“Rosa! Sudah sediakan piring- gelasnya di meja makan?”Pemilik
suara yang berasal dari dapur itu adalah Paman. Hari ini giliran Paman yang
membuat makanan. Kami bergiliran, sesuai jadwal piket yang kami sepakati. “Ah.
Sebentar Za. Paragraph terakhir!” Dan sekarang aku juga sibuk mengetik untuk ‘Enter’
blogku. “Sedikit lagi.”
“Ros. Mana piringnya?” Dan sekarang Pamanku telah kembali
dengan masakannya yang siap untuk dihidangkan. Sedangkan aku belum menyiapkan
satupun piring dan gelas di atas meja. “Maaf , Za… “ Aku memasang tampang
memelas padanya. “Shut Down laptop mu,
sekarang. Lalu singkirkan dari meja makan. Kamu bisa melanjutkannya nanti.” Paman
ku ini orang yang baik. Tapi walaupun begitu, tidak selalu aku bisa
bermanja-manja padanya. Dia orang yang disiplin waktu. Jadi aku sering sekali
dinasihatinya. Pernah sekali aku dimarahinya. Dan itu membuatku benar-benar
trauma. Dia menyeramkan sekali kalau marah.
“Hm… enak Za. Makin hari makin enak. Level masak Reza
bertambah lagi ya...? “ Aku mencoba basa-basi. “Mau membuka pembicaraan atau
mengalihkan pembicaraan?” Paman ku ini juga orang yang berlidah tajam dan
dingin. “Iya iyaa… Aku kan sudah minta maaf tadi. Oh ya Za. Hari ini tanggal
berapa ya?” Aku mengganti topik obrolan, mencoba memancingnya. Dia
ingat nggak ya?
“Hhm… tanggal 31. Kamu itu ya. Segitunya banget, sampai lupa
tanggal. Makanya, liburan gini jangan males-malesan aja. Cepat pikun nanti,
masih kecil sudah pikun. Ponakanku tersayang. Ckckck” Ini dia sifat yang paling
aku tidak suka darinya. Jika berbicara, asal ‘ceplas-ceplos’. Terutama jika itu
tertuju padaku. Nggak ada manis-manisnya.
Dan dugaanku memang benar, DIA LUPA HARI
ULANG TAHUNKU!? Atau lebih tepatnya dia tidak peduli.
“Za. Sekali-kali, aku mau berangkat ke sekolah tanpa harus
diantar.” Aku mengubah topik obrolan lagi, tapi kali ini tanpa basa-basi. “E?
Kenapa tiba-tiba?” sendoknya terhenti saat akan masuk ke dalam mulutnya. “Aku
mau coba untuk lebih mandiri.” Aku mencari alasan. “Tapi kamu masih SMP, dan
belum boleh bawa kendaraan pribadi. Kalo naik motor di sekitar rum…” “Iya.
Kalau itu aku juga tahu. Aku akan berangkat ke sekolah dengan angkutan umum
kok.” Aku berkata sambil menatap piringku yang masih terisi oleh makanan, sebab
aku tak berani menatap wajahnya langsung. Dia
marah tidak ya? Aku melakukan hal ini agar tidak merepotkan Pamanku, sebab
dia telah memberikan segalanya untukku. Rumah, makan, pakaian juga pendidikan.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
Kkrekk! Aku mendengar deritan kaki kursi,
yang ternyata itu kursi Pamanku. Dia beranjak dari kursinya, dan berdiri
meninggalkan meja makan. Dia benar-benar marah!? “Reza… ah, bukan
maksudku Paman! Paman marah hanya karena aku tidak ingin diantar Paman lagi ke
sekolah? Maaf…” Aku pun juga ikut
beranjak dari kursiku lalu ragu-ragu aku mendekatinya. Khawatir nanti jika aku
terkena imbasnya. Dia membalikkan badan dan melihatku sebentar “Ha? Untuk apa
aku marah? Aku mau ambil minum, kamu lupa menyediakan minum di meja makan
tadi.” Huft.. Ternyata mau ambil minum.
Aku kira dia marah. Rasanya aku malu sendiri karena perbuatanku.
“Kamu itu, kalo ada maunya manggil-manggil ‘Paman’. Ya,
sudah. Itu terserah kamu kalo mau berangkat tanpa harus diantar. Tapi kamu
harus bisa jaga diri, ya?” Tanpa ragu aku mengindahkan perintahnya “Siap Bos!”
Sudah 9 tahun lamanya, dan aku bahagia bisa bertemu, juga berada di sisinya.
Semoga aku bisa terus bersamanya. Semoga.
***
Rosalia
Fernanda… Aku begitu menyayanginya. Seperti aku menyayangi Sinta. Hingga aku
takut jika harus kehilangan dia, seperti disaat aku kehilangan Sinta. Begitu
banyak hal yang kusembunyikan darinya. Tentangku, juga tentang keluarganya. Tapi,
‘sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium baunya’. Dan benar,
itu menjadi kenyataan yang harus kuhadapi saat ini.
Siang itu ibuku tiba-tiba datang ke
rumah. Dia sudah mengetahui keberadaan Rosa yang aku adopsi sejak awal. Ku kira
kedatangannya untuk memastikan keadaan Rosa. Tapi tidak untuk hari ini. “Aku
ingin menanyakan beberapa hal terkait Rosa. Kamu pasti sudah tahu tentang hal
ini. Dan kamu menyembunyikan hal ini dari ibu, Reza. Dan pasti, juga menyembunyikan
hal ini dari Rosa” Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, juga tak bisa menentang
kebenaran itu.
Ruang tamu yang tak begitu luas ini
membuatku semakin terpojokkan. “Ibu Rosa masih hidup. Tapi kamu mengatakan pada
ku kalau Ibu Rosa sudah tiada. Apa maksudmu? Reza, kamu tahu sendirikan? Kita
bukan keluarga asli Rosa. Sampai kapan kamu mau menyembunyikan hal ini? Kalau
dia sampai tahu, apa jadinya nanti. Dia sudah pasti akan sangat kecewa. Reza?
Jangan hanya diam, jelaskan yang sebenarnya!”
Tiba-tiba saja aku mendengar langkah
kaki seseorang. Memasuki rumah, dan berhenti tepat di ruang tamu. “Rosa?”
meskipun suara Ibu yang lirih, aku langsung tersadar. Rosa yang sepulang dari
sekolah. Tapi dari jam berapa ia pulang?
Gadis itu terus menatapku tajam.
Seakan sedang menatap sesuatu yang ia benci. Wajahnya memerah seakan ia menahan
sesuatu yang ingin ia utarakan. “Pembohong!” kata yang pertama ia ucapkan
adalah ‘pembohong’. Ya. Aku memang pembohong,
penipu, pembual. Rosa beranjak dari tempat ia berdiri, meninggalkanku yang
hanya diam dan tak dapat berkutik lagi.“Reza! Kamu mau diam sampai kapan? Kalau
saja sejak awal kamu mau menjelaskannya baik-baik dengan Rosa, tidak akan ada
kejadian seperti ini. Jelaskan alasanmu padanya. Dia pasti akan mengerti. Karena
dia bukan anak kecil lagi.”
Akupun mengindahkan permintaan Ibu. Ibu benar, aku tidak bisa terus diam seperti
ini. Aku berjalan dengan cepat
menuju lantai 2, kamar Rosa. Aku berusaha untuk tetap tenang dan tak
mengacaukan keadaan. Tokk, tokk, tokk.. “Rosa?” Tapi tak
ada jawab. Aku mencoba membuka pintunya, tapi tak bisa. Dia menguncinya dari dalam? “Rosa. Dengarkan penjelasanku. Ku
mohon. Ini yang terakhir. Dan aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi.
Jadi aku mohon dengar penjelasanku.” Walaupun aku baru akan menjelaskan , tapi
tetap tak ada jawab.
“Dengar, aku akan menceritakan tentang Ibu mu juga alasan
mengapa aku mengadopsimu. Jadi ku mohon, dengarkan. Itu… dulu sekali. Aku,
Sinta, Ayahmu juga Ibumu adalah teman dekat. Lebih dari itu, kita sudah seperti
keluarga. Dan disaat Ibumu sedang hamil muda, Ayahmu meninggal. Akhirnya,
karena keadaan ekonomi juga karena tak ada kerabat yang mau menerima kalian,
Aku dan Sinta berinisiatif merawat Ibu mu hingga kau terlahir. Ibumu, dia ingin
bisa menghidupimu dengan usahanya sendiri. Dan kemudian pergi meninggalkan
rumah kami untuk membangun rumah sendiri, karena dia tak ingin akan lebih
merepotkan kami lagi. Tapi, selang beberapa tahun kemudian, dia mengirimkan
surat. Dia mengakui belum sanggup untuk menghidupimu dan menitipkanmu di Panti
Asuhan, dan memohon pada kami untuk menjemputmu disaat kamu berumur 6 tahun,
dan jika dia sudah merasa sanggup untuk menghidupimu, dia akan menjemputmu. Aku
dan Sinta saat itu begitu antusias untuk menjemputmu, tapi beberapa bulan sebelum
kami akan menjemputmu. Sinta meninggal. Dan aku sendiri. Tapi aku tetap
menjalani amanah Sinta untuk merawatmu…”
Kreeek.. pintu kamar nya pun
terbuka. Dia terus menundukkan kepalanya. Aku mencoba menyentuh wajahnya dan
menengadahkannya.Tampak wajahnya begitu mendung. Matanya merah bengkak, menandakan
dia sehabis menangis. Dia menatapku kosong. “Maafkan aku Rosa… “ Dia lalu
menepis tanganku dari wajahnya. Namun tetap menatapku kosong. “Apa aku sebegitu
tak bergunanya. Sampai dia membuangku?” Air itu ternyata tak cukup berhenti,
setetes, lalu menyusul tetesan lain dari ke-2 pelupuk matanya. “Dia melakukan
itu bukan untuk membuangmu. Tapi dia hanya belum mampu untuk membahagiakanmu.
Dia sudah berjanji akan menjemputmu kelak. Jadi percayalah.” “Lalu, kenapa kamu
menutupi kebenaran ini?”
“Aku takut. Kalau-kalau kamu tau aku
bukan keluargamu. Kamu tidak akan mau tinggal bersamaku.” Aku tak bisa
menatapnya. Aku benar-benar pengecut. “Tapi kamu bilang. ‘Aku, sinta dan ibumu
sudah seperti keluarga’. Yang berarti aku juga keluargamu. Kan?” Aku
memberanikan diri untuk menatapnya. Tapi tiba-tiba saja, tanpa ku duga. Dia
memelukku. “Aku memaafkanmu. Jadi ku mohon Reza! Jangan pernah menutup-nutupi
sesuatu dariku, atau berbohong padaku lagi! Aku menyayangimu, seperti aku
menyayangi Ibu. Berjanjilah!”
“Ya. Aku berjanji Rosa. Terima Kasih
sudah memaafkanku. Aku juga menyayangimu.”
Karya : Sachi Cira