Welcome !

It's not a nice's place, but thanks to welcome to my Place!

Selasa, 03 Juni 2014

ANTI SOSIAL!?


“Hm, Lisa.” Aku melihat sebentar. Oh, Kesha. Batinku. “Ya. Ada apa?” Aku menjawab sekenanya lalu kembali sibuk dengan bacaan di hadapanku. “Mmm… kata teman-teman yang lain, kamu ketua kelompok 2. Mm, lalu kemarin..” Belum selesai gadis itu berkata, aku menghentikan bacaanku dengan spontan “Kelompok?” tanyaku penasaran dengan ucapannya. “Iya. Itu, kelompok kesenian. Kemarinkan sudah diberitahu Pak Pendi.Tapi karena kemarin aku gak masuk..”

Lagi-lagi aku memotong pembicaraan.”Pak Pendi?” Sontak aku berdiri dari kursi kayu yang sejak jam pertama hingga jam kelima telah ku duduki. Aku meninggalkan Ruang kelas, bacaanku dan gadis itu. Tapi ini lebih penting! Istirahat  pertama itu aku sudah dibuatnya kesal. Aku berjalan cepat menuju ruang kesenian, melewati 2 anak tangga sekaligus, menyusuri koridor tanpa menghiraukan kedaan sekitar. 
Akhirnya aku pun sampai tepat di depan Ruang kesenian yang terletak di Taman belakang Gedung sekolah. BRAAK! Tanpa sopan-santun aku mendobrak pintu ruangan yang tidak terkunci itu. Aku melihat sekitar, mencari bayangannya, lalu kudapatkan ia.

Seorang lelaki kurus dan tinggi berdiri di dekat jendela terbuka, sibuk dengan rokok yang sudah pendek telah habis dihisapnya. Ruangan kesenian itu tercium jelas asap rokok karenanya. Aku menatapnya kesal. “Ah. Sudah ku duga, kamu pasti akan datang kemari.” Lelaki itu berkata sembari tersenyum penuh makna. Aku yang tak sabaran segera mengutarakan maksud kedatanganku, “Apa maksudnya menjadikan aku sebagai ketua kelompok !?”
Telah ku utarakan semua uneg-uneg, melepas segala beban di pikiranku.

“Sudah?” Lelaki itu berkata tanpa melihat lawan bicaranya langsung.
Sekuat tenaga kuungkapkan perasaan kesal ku padanya, dia hanya menjawab Sudah?
Kesalku seakan bertambah 2 kali lipat dari sebelumnya. Aku mendekati lelaki itu. Lalu dengan cepat merebut rokok diantara jemari kanannya.”Ei! Itu rokok pertamaku hari ini. Lisa!”

Aku mematikan ujung sumbu yang masih menyala, mematikan tepat di hadapannya. Bagaikan orang yang kalah dalam taruhan, ia kecewa serta kesal atas perbuatanku. Tapi kelicikannya tidak berhenti sampai disitu, hanya karena ia kehilangan sepuntung rokok.
Ia lalu duduk di pinggiran jendela terbuka itu, balas menatapku tajam “Anak muda seharusnya menghormati yang lebih tua.”
Ingin rasanya aku mendorongnya keluar jendela saat itu juga, “Itu harusnya berlaku untuk mu! Kamu lupa? Kamu itu keponakanku!”

Bagiku, mengatainya sebagai ‘keponakanku’ itu terasa aneh. Untuk seorang yang sudah berumur 24 tahun sedang aku yang lebih muda 8 tahun dari dia adalah tantenya. Dia melihatku dengan tatapan heran, entah ia takjub dengan ungkapanku yang begitu percaya diri atau sedang menahan tawanya yang akan meledak. Dia lalu tersenyum lebar hingga ke-2 pipinya terangkat, seraya berkata “Tante…”
Itu yang terakhir, sekarang aku benar-benar sudah tak kuasa menahan kekesalanku. Dengan cepat, aku menginjak kakinya, dan menendang tulang keringnya. “Ahhh! Tante, apa yang kau lakukan!?”

“Diam! Jangan memanggilku tante lagi! Sudah ku bilang kalau di Sekolah jangan panggil aku tante, Fendi!” Aku mengejarnya yang lari pontang-panting kesakitan, namun tanpa disadari kami hanya mengitari Ruangan kesenian.
Hingga, tiba saat aku sudah akan menangkapnya, pintu Ruang kesenian terbuka dari luar. Tanpa aku duga, seseorang yang baru-baru ini aku kenal, muncul.

“Wah! Ke-sha! Kebetulan sekali, akhirnya kamu datang juga.” Fendi menyambut hangat kedatangan Kesha, seakan ia telah berencana untuk mengundangnya. Kesha sebaliknya, namun ia tetap membalas sambutan Fendi. “Iya, Pak. Permisi. Maaf menggangu. Saya ingin menanyakan tentang pembagian kelompok kesenian kemarin,” belum selesai ia dengan pertanyaan, Kesha menatapku. “Hai. Maaf. Apa aku mengganggu?” Aku melihat ke arahnya sebentar, lalu beranjak pergi meninggalkan Ruang kesenian tanpa membalas sapa atau pun pertanyaan yang ia ajukan, namun aku teringat satu hal penting. Kemudian aku berbalik kembali.

“Fendi! Jangan lupa! Pokoknya, hapus aku dari posisi ketua kelompok 2. Aku hanya mau menjadi anggota! Harus!” Aku berkata dengan suara lantang pada Fendi tanpa memedulikan kehadiran Kesha di situ. “Kalau kamu terus menerus seperti itu, menarik diri dari suatu masalah. Tidak akan ada perubahan.” Fendi berkata sembari menatapku. Aku mengerti maksud dari perkataannya, tapi aku menolak saran itu lalu bersiap kembali ke kelas.

Baru saja aku akan beranjak. Tiba-tiba Fendi mengatakan hal yang tak ingin aku ingat kembali,“Hanya karena sewaktu SD kamu dikhianati oleh sahabatmu atau sewaktu SMP kamu di maki oleh teman satu kelompok mu, karena sebagai ketua kamu berlaku seenaknya?” traumaku yang mendalam. Saat itu emosiku mulai tak terkendali, pikiranku kacau. Aku berputar kembali menuju tempat di mana Fendi berdiri, dan lalu menamparnya keras. PLAKK!
Aku merasakan kehadiran Kesha, berdiri tak jauh dariku yang juga melihat kejadian itu. Tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk berkompromi dengan Fendi. Saat itu pun air mataku tak kuasa aku bendung, “Sudah puas?” Fendi berkata sambil menahan sakit yang bertubi-tubi, memegangi pipinya yang memerah.

“Lisa. Apa kamu ingin, aku mengijinkanmu untuk tidak mengikuti pelajaran setelah ini? beristirahatlah dulu di UKS. Aku akan mengantar mu..” Kesha menawarkan seraya menyentuh pelan bahuku. “Jangan sentuh aku! Biarkan aku sendiri.” Aku mundur, menjauhinya. “Maaf. Kalau begitu, kamu bisa sendiri?”
“Itu bukan urusanmu” jawabku yang lalu meninggalkan Ruangan itu, dan menuju ke Ruang UKS. Mengistirahatkan diri dari penat yang ku temui sebelumnya. Hari ini begitu banyak hal yang tak aku suka. Aku tak ingin, setelah ini akan ada hal yang sama terjadi lagi. Seperti saat itu.

                                                                                                                ***
Tempat yang begitu familiar. “Lisa! Ayo cepat! Nanti kita telat lagi!” Suara dan Ruang kelas yang familiar. “Seperti biasa, kalian pasti telat terus. Kalau sampai besok terlambat lagi, saya tidak akan memberi toleransi.” “Hahaha.. Nina tukang telat. Besok telat lagi ya...” Nina… Wajahmu terlihat ingin menangis.
“Nina? Kemarin kamu pulang duluan, tidak biasanya. Hari ini juga kamu berangkat lebih dulu. Apa kamu ada urusan?” Dia tak menjawab pertanyaanku. “Nina! Ayo ke Kantin!” Dia pergi. Wenda dan kawan-kawannya? Lisa, kenapa kamu lebih memilih mereka?
Cahaya yang menyoroti wajah sedihnya, tak akan pernah ku lupakan. Nina sahabatku. “Nina? Ada apa denganmu?”
“Lisa…” Pelukan terakhir darimu, yang tak akan pernah ku lupakan. Keluh kesah, itu juga.
Nina kembali lagi padaku. Tidak apa aku dikucilkan, tak punya teman, dicaci makipun juga tak apa. Karena, hanya dengan memilikimu, itu sudah cukup bagiku. Pikirku. Tapi aku salah. Peristiwa dan kata-kata terakhirmu itu, selamanya masih terngiang di ingatanku.
“Nina, bukankah kamu sahabatnya Lisa? Dia selalu sendirian loh. Tidak apa meninggalkan dia sendiri” suara Wenda? “Dia bukan sahabatku. Dia hanya tetanggaku. Untuk apa aku berurusan dengan orang begitu, tidak disiplin, cerewet, cari perhatian, pokoknya nyebelin deh.” Nina? Itu bukan suara Nina kan? Kenapa, Nina?

“Nina… Kenapa?” Badanku terasa berat dan basah karena keringat, pipiku terasa memanas. “Alis.. Alisa? Sadarlah.” Ada yang memanggilku? Saat itupun aku tersadar dari tidur dan mimpi burukku. Seorang wanita berumur dengan jas putihnya, berdiri di samping tempatku berbaring. “Sudah merasa lebih baik?” Wanita itu terlihat ramah. “Iya.” Wanita itu tersenyum, kemudian berlalu.

“Oh ya, tadi ada teman sekelas mu yang menjenguk. Dia juga minta tolong padaku untuk memberikan ini padamu.” Ia memberi tahuku seraya menyerahkan sebuah kantong plastik hitam. Akupun membukanya. Isinya roti dan susu kotak? “Ini… Siapa? Siapa yang menitipkan barang ini?”
“Kalau tidak salah… Dia anak yang baru-baru pindah ke Sekolah ini. Kenapa?” Kesha? Ternyata, aku salah kira. “Ah. Tidak apa-apa. Terima Kasih.” Kenapa dia bisa tahu aku suka dengan susu kotak stroberi? Dasar orang aneh.                                    
                                                                                                                ***
Setelah beristirahat cukup lama di UKS, akupun kembali ke Kelas. Berlanjut dengan pelajaran kesenian. Pelajaran yang disampaikan oleh Fendi. “Abi?”…“Hadir.” “Achiru?”…“Hadir.” “Aden?”…“Hadir.”… “Alisa?”…“Hadir.”
“Sudah sembuh?”… “Siapa?”… “Ya, kamu.”…
“Pak, kalaupun saya masih sakit, lebih baik saya beristirahat sampai jam terakhir, daripada harus mengikuti pelajaran kesenian ini.” Aku menjawab dengan tegas. “Terima kasih Alisa… lanjut, Devi?” Dan sekarang aku diperhatikan seisi kelas. Menyebalkan… Jangan melihat ke arahku!

“Baik, semua sudah hadir. Hari ini kita akan melanjutkan kerja kelompok. Harap berkumpul sesuai dengan kelompok masing-masing seperti yang sudah ditentukan kemarin. Untuk pengumpulan terakhir ‘Desain dinding’ adalah pekan depan. Kalau ada yang kurang dimengerti, segera tanyakan.”
Akhirnya seisi kelas mulai riuh kembali, mereka sibuk dengan kelompok mereka.
Aku tidak mengerti siapa saja anggota kelompokku, tapi aku mencari mereka dengan melihat keberadaan Kesha. Itu dia. Akupun mengikuti mereka. “Semuanya sudah berkumpul?” Kesha memastikan. Untuk seorang anak baru, dia cukup berani untuk memimpin kelompok ini. Tunggu. Jangan bilang dia… “Jadi sekarang ketuanya digantikan Kesha?” seorang dari mereka bertanya. “Iya.”

Eh??? Dia ketuanya? Hari ini sudah cukup aku berurusan dengan anak baru itu. Siapa dia sebenarnya? Jelmaan Malaikat? Atau, bidadari? Punya hutang apa dia denganku? Dia terlalu baik. Atau bisa dibilang, terlalu polos.
“Untuk desain dindingnya, kita menggunakan pola yang terbuat dari pelepah pisang. Hari ini kemungkinan besar waktunya tidak cukup. Jadi, untuk melanjutkannya, hari minggu kita berkumpul di Rumahku. Ada yang keberatan?” “Sepertinya semua tidak keberatan.” Salah seorang mewakili.
“Ya sudah kalau begitu. Nanti aku konfirmasi lagi. Terima kasih atas kerja samanya ya…”
                                                                                                                ***
Senin pagi itu aku berangkat sedikit terlambat dari biasanya. Saat aku memasuki kelas, suasana terasa mencekam. “Alisa.” Baru saja aku akan duduk, tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku berbalik, kukira hanya seorang yang ingin menemuiku, ternyata sekumpulan orang yang merupakan anggota dari kelompok kesenian Rabu lalu.
“Semuanya. Ada urusan apa?” Aku memberanikan diri. “Seharusnya kami yang bertanya begitu. Ada urusan apa kamu kemarin? Sampai tidak bisa mengikuti kegiatan kelompok. Kemarin Rabu Kesha sudah mengkonfirmasi semuanya, dan semua setuju. Tapi kamu tidak hadir tanpa kejelasan ‘ada kepentingan apa? Atau ada urusan mendadak apa?’ Kan cukup memberitahu salah seorang dari kami atau Kesha.” Lagi-lagi aku diperhatikan seisi kelas, seperti kemarin. Tapi ini sedikit berbeda. “Aku ada urusan yang mendadak. Tapi aku tidak tahu, bagaimana harus menghubungi kalian.”

“Kamu kan bisa menghubungi kami lewat HP atau telpon rumah.” Fiola nama gadis itu, yang sedang bersikeras menghadapiku. “Sayang sekali. Tapi aku tidak tahu nomor HP atau telpon rumah kalian sekalipun.” Aku tersenyum menang. “Kalau begitu, kenapa tidak kamu minta saja nomor HP kami kemarin, atau tanya salah satu teman sekelas kita. Segala cara kan bisa dilakukan!” Dia mulai kehilangan kesabaran. Kenapa malah dia yang emosi?
“Begini… aku minta maaf. Karena kemarin aku benar-benar ada kepentingan yang tidak bisa ditunda. Dan… sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak punya nomor HP kalian, karena menurutku itu sesuatu yang benar-benar merepotkan.” Lalu dengan santai aku meletakkan ransel yang sedari tadi bertengger dibelakangku. Baru saja aku mau meletakannya, tiba-tiba saja tas itu ditarik olehnya, Fiolin. “Hei! Kamu ini kenapa sih?” Gadis itu sekarang terlihat lebih ganas dari sebelumnya. Hah…. Pagi-pagi sudah seperti ini.

“Fiolin, Alisa. Kalian sedang apa?” Suara yang tak asing bagiku. “Kesha. Sebagai ketua kamu harus tegas. Alis kemarin tidak ikut dalam kerja kelompok. Kemarin, kita sudah mati-matian mengerjakannya. Sedangkan dia? Dia hanya seenaknya saja!” Alis? Hei! Namaku Alisa! Dasar L-ola!
“Fiolin. Kembalikan tas Lisa.” Terlihat wajah gadis itu seakan enggan. Akhirnya ia pun menyanggupi. “Sebelumnya. Aku mau minta maaf. Tapi ini juga untuk kepentingan kelompok kita. Aku yang salah, belum memberi tahu kalian. Sebenarnya, aku yang menyarankan Lisa untuk tidak mengikuti kerja kelompok yang sudah kita janjikan kemarin. Sabtu lalu dia membantuku. Setengah dari pekerjaan yang kita kerjakan minggu itu, dia yang melakukannya. Dia mengajariku banyak hal tentang desain. Jadi, karena dia sudah bekerja dengan baik, aku bilang pada Lisa untuk menyerahkan setengahnya pada kita.” Mereka semua membisu saat menyadari hal itu. Merasa malu, mereka pun akhirnya meminta maaf. Terutama Fiolin, dia malu sejadi-jadinya. Masalahpun selesai.

Istirahat pertama, aku berencana menemui Kesha.
“Kesha.” Gadis itu balas menyapa “Ah. Iya Lisa. Ada apa?” Dia tersenyum kaku seperti biasa. “Makasih.” Dia malah terlihat bingung. “Untuk apa?” Dia pikun atau telmi sih? “Ahaha.. tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu.” Dia mendekatiku, tepat di depan wajahku. “Ada apa sih? Bikin orang penasaran.” Aku dibuatnya kaget. Baru pertama kali ini aku menemukan orang aneh seperti dia. Tapi, entah mengapa… aku merasa nyaman berada di dekatnya. “Bukan apa-apa.” Entah apa yang begitu menggelitik, aku tertawa kecil. Mungkin, karena gadis yang aneh ini. Dan karena dia… traumaku, seakan sirna. Terima Kasih.


“Hubungan antar manusia memang merepotkan, tapi kita tak bisa hidup sendiri.“-JKT48



Minggu, 13 April 2014

CERPEN (10 Halaman)

                                            KELUARGA

Malam itu, seorang gadis kecil terus memandangi langit gelap melalui jendela berjeruji, bertirai polos yang sengaja ia buka. Angin malam yang begitu dingin membelai, membuat merah sipu kedua pipinya. Dia  tak bisa tidur sedari sejam yang lalu. Tapi sebab itu bukan karena angin malam yang dingin.

“Ding..iiin” suara seorang yang ia kenal. Sesegera mungkin gadis kecil itu menutup tirai rapat-rapat. “Maaf…” ucap si gadis kecil lirih. “kamu belum tidur Ros?” tanyanya.       
“Belum…” jawab si gadis kecil, pemilik nama ‘Rosa’ itu.
“Kenapa?”  
“Aku belum ngantuk kok. Maaf.. udah mbangunin Kak Lisa”
“Ya. Gak apa. Bener, kamu belum ngantuk?” tanyanya untuk yang ketiga kalinya..
“Iya” jawab Rosa tersenyum kecil. “Hmm…, ya udah kalau gitu. Kakak balik tidur lagi. Kamu juga cepat tidur Ros…” perintah Lisa.
“Iya Kak”
Sejenak gadis kecil memperhatikan punggung perempuan yang ia kenal dengan sebutan ‘Kak Lisa’ yang telah tertidur. Namun seketika terfikir kembali hal itu. Lagi.
“Kak… ” panggil si gadis kecil lirih, tapi tak ada jawab. “Kak Lisa… kata Fika. Kalo kita punya ibu, kita bisa makan makanan enak, terus kalo sakit, ‘ibu’ perhatian.  Apa aja yang kita mau, bakal dikasih. Aku tahu Kak… itu gak mungkin. Tapi aku mau diulang tahunku yang ke-6 besok bisa ketemu ibu. Kalau cuman nglihat aja, juga gak apa-apa.” Ungkap gadis kecil dalam monolog.
“Hmm…“
“Kak Lisa?”
Sebenarnya Lisa memang sudah terjaga sejak gadis kecil itu tak sengaja membuatnya terbangun.“Rosa… Kan Kakak dah bilang berapa kali biar kamu tahu. Tadi kamu bilang udah tahu, tapi tetap kerasa kepala. Sudah pasti kita gak bisa bertemu. Karena kita tidak punya… Terus, kamu gak usah  dengerin ceritanya si Fika.” Lisa dengan nada sedikit kesal, karena emosi yang belum stabil sebab sedari bangun tidur.
“Hm. Iya kak, maaf.” Rosa  yang menyesal. “Ya, udah. Gak apa-apa. Sekarang kamu tidur, besok kita kan bakal ada acara. “ Ungkap Lisa dengan senyum penuh arti. “Oh, ya Dek. Kalau besok Kakak gak bisa ngasih kado yang sesuai dengan yang Adek mau. Coba kamu minta sama yang di atas. Percaya deh, pasti dikabulin” saran Lisa.
“Bisa?” Tanya Rosa dengan polosnya. “Bisa dong!” Jawab Lisa yakin. Rosa tersenyum lebar.
Akhirnya Rosa pun memutuskan untuk segera tidur. Agar acara esok yang ia nanti-nanti sesuai dengan apa yang ia  harapkan.
Rosa memandang langit-langit kamar yang tak nampak, sambil memohon kepada Yang Maha Kuasa, “Semoga besok aku bertemu Ibu. Tapi kan mustahil. Kalo gitu, aku mau bertemu keluargaku. Tapi kan di sini juga udah ada keluargaku. Hah… terus, minta apa? Kalo gitu,” mohonnya dalam batin sembari berfikir matang-matang apa yang ia harapkan.
“Semoga aku bertemu dengan keluargaku yang sudah sekian lama tidak bertemu, siapapun! Kalo gak, yang penting keluargaku yang belum pernah aku temui juga gak apa-apa. Siapapun!”

                                                                        ***
01 Januari 2002 : 08.00
Pagi yang cerah menyambut secercah senyum itu. Di Panti Asuhan ‘Kasih Ibu’.
“Eii… bangun Ros. Udah jam 8, inget gak, ini hari apa?” Lisa mencoba membangunkan Rosa si pemalas untuk yang kesekian kalinya, kali ini dengan sekuat tenaga dan tanpa ampun.
“Hmm!” Rosa yang kesal karena Lisa membangunkannya dengan cara yang berbeda. Yaitu menggelitikinya. “Ahhh! KAK! Hahaha… GELI!” Rosa mulai tak tahan. Dan akhirnya, menyerah. “Iya, iya aku bangun. Udahan!” Pinta Rosa.
“Nah… anak pintar. Sekarang mandi, terus bantu-bantu yang lain di luar. Semua pada sibuk nyiapin acaranya. Hari ini bukan cuman kamu yang dirayain. Jadi jangan manja ya Adek Rosa” jelas Lisa. “Iya iya iya…” jawab Rosa.
Setelah selesai dengan urusan pembersihan diri, selanjutnya Rosa pun ikut membantu. Lisa menyarankan Rosa untuk membantu dalam urusan dekorasi bersama saudara sebayanya dan dibantu oleh beberapa Kakak yang juga menuntun mereka. Melipat kertas origami, meniup balon, menggunting kertas, dan memajang dekorasi yang telah siap. Semua melakukan tugas masing-masing dengan senang hati.
“Ros, hari ini bakal ada yang datang loh…” Tiba-tiba saja Bu Rahmah mengatakan sesuatu sembari menepuk pundak Rosa disaat ia sedang asyiknya meniup balon. Dan berhasil mengagetkan Rosa walaupun tak ada niat untuk melakukannya. “Ah! Bu Rahmah?”
 “Kamu pasti seneng.” Bu Rahmah melanjutkan ucapannya barusan. “Ada yang datang? Siapa?” Rosa sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya beliau katakan.
“Loh, belum tahu toh nduk?” tanya Bu Rahmah dengan heran. Rosa yang polos tetap diam. Mencoba menerka apa yang sebenarnya Bu Rahmah maksudkan. Tapi semakin ia berfikir, semakin ia tak mampu menemukan jawabannya.
“Ya sudah, kalo gitu. Nanti Rosa liat aja sendiri. Biar Surprise, ya?” Bu Rahmah menyarankan. “Emang, siapa Bu? Siapa?” Rosalia yang mulai dipenuhi rasa penasaran, sudah sampai pada puncak kesabaran.
“Bu Rahmah! Minta tolong ke sini sebentar, boleh?” terdengar suara wanita memanggil yang sumbernya berasal dari dapur. “Oh! Nggih Bu!” Bu Rahmah menyanggupi.  Dan akhirnya Bu Rahmah pergi dengan meninggalkan gadis kecil itu yang dipenuhi rasa penasaran.
Disaat yang sama, “Ros, temani Kak Lisa ke Supermarket  sebentar. Mau?” Lisa juga muncul disaat yang tak terduga. “Ah! Iya Kak!” Dalam waktu singkat Rosa melupakan percakapannya dengan Bu Rahamah.

***
01 Januari 2002 : 08.30
Rosalia Fernanda, sebentar lagi aku akan menjemputnya.  Ternyata makan waktu cukup lama untuk mencapai ke tempat itu. Sedangkan aku berangkat mulai pukul 7. Aku begitu gugup.
“Umurnya sekarang 6 tahun ya? Jadi anak itu pasti suka mainan” gumamku sembari mengemudikan mobil yang melaju dengan pasti. Dipikir-pikir, jarang sekali aku ini berkomunikasi dengan anak kecil. Bagaimana nantinya kalau aku bertemu Rosalia, berbicara, atau berperilaku padanya? Hhah… Sinta. Andai kamu masih ada di sisiku.
***
01 Januari 2002 : 08.50
Rosa dan Lisa telah kembali setelah keperluan mereka. Saat mereka sedang akan memasuki rumah, Rosa terus mengalihkan perhatiannya pada mobil hitam yang sudah terparkir sejak sebelum kembalinya mereka dari berbelanja.
“Ah… akhirnya kita sampai rumah. Capek banget ya Ros.” Rosa pun mengalihkan pandangannya pada Lisa.
“Mau minum Kak, ke dapur yuk!” pinta Rosa. “Ah! Ayo Dek.”
Keadaan saat itu begitu ramainya, hingga Rosa tak sempat untuk memikirkan siapa pemilik mobil itu.
Sekembalinya Rosa dan Lisa, semua sudah siap pada tempatnya. Tak lama mereka pergi, tapi urusan telah terselesaikan. Karena acara itu bertepatan setelah perayaan tahun baru, kemeriahan terompet masih bergema. Kebahagiaan pun juga turut bergema. Setiap tahunnya, Panti Asuhan ‘Kasih Ibu’ merayakan hari kelahiran mereka bersama-sama. Jika bulan kelahiran mereka bersamaan, maka mereka akan merayakan diawal, atau dipertengahan bulan tersebut. Kebersamaan yang begitu harmonis.
“Nah, ayo semua kumpul-kumpul sini! Nida, Oki, Eva, Dan Rosa. Kalian berdiri di belakang sini” perintah Bu Rahmah dan Rosa mengikuti arahannya.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini acara perayaan ulang tahun terasa lebih meriah.
Rosa sedari tadi hanya terdiam, sedang yang lain menyanyikan lagu ulang tahun dengan gembiranya. Rosa memandang sekitar, entah apa yang ia cari. Dan disaat itu, ia menangkap satu sosok yang menarik perhatiaannya sama seperti saat ia memperhatikan si mobil hitam. Seorang lelaki berkacamata dengan setelan kemeja putih serta jas hitam. Dalam keramaian, sosok itu terbilang mencolok. Cukup lama Rosa menatap tajam pada lelaki berkacamata itu.
Tak selang berapa lama, sosok itu menyadari bahwa Rosa sedang memperhatikannya.
“Ros, kok diem aja? Ikut tiup lilinnya juga ya.” Bu Rahmah menegur Rosa yang sedari tadi hanya diam, seakan tak menikmati acara tersebut. Membuat Bu Rahmah khawatir.
Rosa tersadar. Kemudian ia pun juga mengikuti ketiga saudaranya meniup lilin.
Setelah usai, Rosa berbalik lagi mengalihkan pandangannya pada sosok itu. Namun hasilnya nihil, ia tak menemukannya.
                                                                        ***
“Rosa! Ayo, ke sini!” terdengar suara Bu Rahmah  dari teras depan. Rosa yang sedang asyik dengan  saudara-saudaranya, lalu mencari sang pemilik suara. “Itu Bu Rahmah di Teras depan” Lisa mengerti maksud gerak-gerik Rosa. Rosa tersenyum. “Makasih kak.”
Rosa pun menyusul Bu Rahmah yang berada di Teras depan, tak tau apa yang sebenarnya Bu Rahmah inginkan. Rosa hanya menyanggupi.
“Bu Rahmah, ada a..” belum selesai ia bertanya, Rosa mengalihkan pandangannya pada seorang selain  Bu Rahmah, yang juga ikut duduk di kursi Teras depan itu.
Sosok yang beberapa waktu lalu  Rosa lihat, yang kemudian hilang dan sekarang sosok itu berada dihadapannya. “Hai Rosalia!” Lelaki itu menyapanya dengan senyuman ramah tanpa pamrih. “Ah. Ee… ehm… hha.. lo!” Rosa berusaha membalas sapaan orang tersebut, tapi terasa begitu sulit baginya yang baru mengenal seseorang. Bu Rahmah tersenyum, memaklumi Rosa.

“Rosa masih inget kan? Waktu Ibu bilang, bakal ada yang datang.” Bu Rahmah angkat bicara. Akhirnya Rosa teringat kembali perbincangannya dengan Bu Rahmah. “Oh, yang waktu itu. Terus siapa yang Bu Rahmah maksud?” Rosa mulai bersemangat kembali.
Bu Rahmah melihat ke arah yang tertuju pada lelaki berkacamata itu. Rosa pun juga mengikuti arah pandang Bu Rahmah. Tapi Rosa tetap tak mengerti isyarat yang Bu Rahmah berikan. Akhirnya Bu Rahmah memberikan penjelasan. “Dia orang yang Ibu bilang, ‘akan datang ke acara ulang tahun mu’.”

Lelaki berkacamata itu tersenyum kembali, lalu ia beranjak dari kursinya dan bersimpuh menyejerkan tingginya dengan Rosa. Sontak Rosa sedikit ragu dan mundur selangkah dari tempat ia berdiri sebelumnya.

“Ah, maaf sudah mengagetkanmu. Rosalia, perkenalkan. Namaku Reza. Saudara dari Ibu kandungmu, atau kamu juga bisa menyebutku ‘Paman’. Itu terserah Rosalia sendiri mau memanggilku dengan sebutan apa. Tapi sebelumnya Paman mau mengucapkan ‘selamat ulang tahun yang ke-6’ semoga menjadi yang terbaik dari yang terbaik.” Lelaki itu berkata sembari menyerahkan sebuah kotak besar yang terbungkus kertas berwarna merah muda dengan pita merah di atasnya.
“Ini… “ Rosa merasa tak yakin kotak itu ditujukan padanya.
“Untuk kamu Ros.” Lelaki itu meyakinkannya sekali lagi. Bahwa benda itu kini milik Rosalia seutuhnya. Rosalia begitu senang, namun ia malu mengekspresikan kesenangannya pada orang asing yang ia kenal dengan sebutan ‘Paman Reza’. Meskipun ia baru mengenal lelaki itu, tapi ia yakin bahwa Paman Reza adalah sosok orang yang begitu dermawan.
Bu Rahmah tersenyum melihat keakraban mereka. Namun juga ada sedikit kesedihan dalam hatinya. “Rosa. Bagaimana jika Paman Reza yang merawatmu?” Tiba-tiba saja Bu Rahmah mengatakan suatu hal yang menarik perhatian Rosa.“Maksud Ibu?”

“Sebenarnya, Pamanmu kemari bukan hanya untuk merayakan ulang tahunmu.” Bu Rahmah setengah menjelaskan. “Paman kemari, juga untuk menjemputmu.” Reza melanjutkan penjelasan Bu Rahmah. “Menjemput?” Rosa masih belum mengerti maksud dari pembicaraan mereka.
“Kamu akan tinggal bersama Paman Reza, di Rumahnya. Dia yang akan merawatmu menggantikan Ibumu. Mengadopsimu. Dan juga, karena pamanmu masih berhubungan dengan keluargamu yang sebelumnya. Jadi… ” Bu Rahmah memberi maksud. “Tapi aku juga punya keluarga di sini. Kak Lisa, Bu Rahmah, Fika, Nida, Eva… kakak dan adik-adik yang lain juga. Semua keluargaku” Rosa juga mencoba menjelaskan.
Bu Rahmah mengerti keadaan Rosa. Tapi ia juga tahu betapa ingin Rosa bertemu dengan keluarganya yang sesungguhnya.  
“Tapi, Paman itulah keluargamu yang sesungguhnya Rosa.” Lisa muncul, di tengah perbincangan mereka. “Mereka, adalah keluargamu yang sudah ada, sebelum kamu bertemu kami. Keluarga yang sesungguhnya. Kalau mereka tidak ada di dunia ini, kamu juga tidak mungkin ada. Dan kamu juga tidak akan bisa bertemu kami. Jadi, kembalilah ke keluargamu dan jangan lupakan kami di sini. Ok? Rosa.”

Sesaat Rosa mampu menahan tangisannya. Tapi, kemunculan Lisa membuatnya tak kuasa menahan tangis. Sebentar Reza melihat ke arah Lisa dan melemparkan senyuman dengan maksud berterima kasih, Lisa pun juga membalas senyuman itu.
                                                                        ***
“Semua sudah?”
“Iya.”
“Nggak ada yang ketinggalan?”
“Ya, kayaknya sudah nggak ada Kak.”
“Rosa. Sudah siap?” Bu Rahmah masuk ke kamar Rosa  untuk memastikan kesiapannya. “Iya. Sudah.”
“Lisa. Tolong bawakan sebagian barang Rosa. Terus simpan di bagasi mobil yang terparkir di depan.” Perintah Bu Rahmah. Tanpa membuang waktu Lisa segera melaksanakan tugasnya. Bu Rahmah dan Rosa juga tak ketinggalan segera menyusul.
Seluruh penghuni Panti Asuhan ‘Kasih ibu’ telah berkumpul di Teras depan sejak tadi. Menunggu Sang tokoh utama keluar. Reza juga tak kalah. Ia menunggu keluarnya Rosa, sambil membantu membawakan barang keperluan Rosa yang kemudian ia singgahkan di Bagasi.
Dan Sang tokoh utama pun keluar. Semua diam. Hening menambah kepekatan udara malam. “Mulai hari ini. Rosa akan tinggal bersama Pamannya. Dia akan dirawat oleh keluarganya langsung.” Bu Rahmah memberi kumandang informasi.
Sekali lagi Rosa tak mampu menahan tangis. Dan yang lain pun ikut merasakan apa yang Rosa rasakan. Kemudian Rosa memeluk dan bersalaman dengan mereka, satu per satu. Sebagai tanda perpisahan, serta perjumpaan bagi mereka kelak nanti.
Berlanjut, Bu Rahmah, dan terakhir Lisa. “Baik-baik ya… jangan ngrepotin Pamanmu. Karena dia sendiri yang akan menjaga kamu. Kalau ada waktu, sempatkan untuk singgah ke sini. Semua pasti rindu sama kamu ‘si cerewet’. Hehehe… “ Lisa menasihati Rosa untuk kesekian kalinya.
“Rosa. Pamanmu sudah menunggu di mobil.” Bu Rahmah mengingatkan. “Ah. Iya Bu.”
Rosa pun beranjak dengan sedikit perasaan tak rela. Lalu ia masuk dan duduk tepat di sebelah bangku kemudi. “Maaf Ros. Paman, nggak bermaksud memisahkan kamu dengan keluargamu.”
“Nggak apa-apa. Lagi pula aku sudah memutuskan pilihanku. Paman kan juga keluargaku” Rosa berusaha untuk tersenyum dan menahan kesedihannya. Karena, jika ia terus terlihat menyedihkan, itu hanya akan membuat Pamannya merasa bersalah.
“Rosa, Daaah..! Hiks.” Fika melambaikan tangannya sambil menahan isak tangis karena ditinggal oleh saudara yang juga sudah seperti sahabat karib baginya. Melalui jendela mobil yang terbuka, Rosa pun ikut melambaikan tangan. “Terima kasih semua.” Dan kaca mobil menutup kembali.
                                                                        ***
“Tak terasa, waktu begitu cepat. Bagaikan aliran air, dan aku adalah daun kering yang terbawa olehnya. Begitu rapuh, juga mudah terombang-ambing oleh arusnya. “
“Dan kini, aku di sini. Jika ku putar kembali waktu, dulu seakan seperti mimpi dalam tidurku.”
“Tuhan mempertemukanku dengannya, kini seakan peristiwa itu terasa biasa bagiku.”
“Tapi, jika aku memutar kembali waktu dulu. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, peristiwa itu seakan ajaib bagiku. Luar Biasa.”

“Sabtu, tiga puluh satu Desember. Dua ribu sebelas… “ Aku Rosalia Fernanda, siswi kelas 3 SMP. Kehidupan baru ku berawal sejak aku tinggal bersama Pamanku, Reza Anan (32). Dia seorang penulis novel. Paman yang cukup bertanggung jawab atas hidup dan mati keponakannya. Kurang lebih sudah 9 tahun lamanya. Sebelum aku tinggal bersamanya, sudah ada seseorang yang berada di sisinya. Tapi kini, sosok itu telah tiada tidak lama sebelum ia menjemputku dulu. Sosok yang dicintai oleh pamanku, istri yang begitu dicintainya.
“Rosa! Sudah sediakan piring- gelasnya di meja makan?”Pemilik suara yang berasal dari dapur itu adalah Paman. Hari ini giliran Paman yang membuat makanan. Kami bergiliran, sesuai jadwal piket yang kami sepakati. “Ah. Sebentar Za. Paragraph terakhir!” Dan sekarang aku juga sibuk mengetik untuk ‘Enter’ blogku. “Sedikit lagi.”
“Ros. Mana piringnya?” Dan sekarang Pamanku telah kembali dengan masakannya yang siap untuk dihidangkan. Sedangkan aku belum menyiapkan satupun piring dan gelas di atas meja. “Maaf , Za… “ Aku memasang tampang memelas padanya. “Shut Down laptop mu, sekarang. Lalu singkirkan dari meja makan. Kamu bisa melanjutkannya nanti.” Paman ku ini orang yang baik. Tapi walaupun begitu, tidak selalu aku bisa bermanja-manja padanya. Dia orang yang disiplin waktu. Jadi aku sering sekali dinasihatinya. Pernah sekali aku dimarahinya. Dan itu membuatku benar-benar trauma. Dia menyeramkan sekali kalau marah.
“Hm… enak Za. Makin hari makin enak. Level masak Reza bertambah lagi ya...? “ Aku mencoba basa-basi. “Mau membuka pembicaraan atau mengalihkan pembicaraan?” Paman ku ini juga orang yang berlidah tajam dan dingin. “Iya iyaa… Aku kan sudah minta maaf tadi. Oh ya Za. Hari ini tanggal berapa ya?” Aku mengganti topik obrolan, mencoba memancingnya.  Dia ingat nggak ya?

“Hhm… tanggal 31. Kamu itu ya. Segitunya banget, sampai lupa tanggal. Makanya, liburan gini jangan males-malesan aja. Cepat pikun nanti, masih kecil sudah pikun. Ponakanku tersayang. Ckckck” Ini dia sifat yang paling aku tidak suka darinya. Jika berbicara, asal ‘ceplas-ceplos’. Terutama jika itu tertuju padaku. Nggak ada manis-manisnya. Dan dugaanku memang benar, DIA LUPA HARI ULANG TAHUNKU!? Atau lebih tepatnya dia tidak peduli. 
“Za. Sekali-kali, aku mau berangkat ke sekolah tanpa harus diantar.” Aku mengubah topik obrolan lagi, tapi kali ini tanpa basa-basi. “E? Kenapa tiba-tiba?” sendoknya terhenti saat akan masuk ke dalam mulutnya. “Aku mau coba untuk lebih mandiri.” Aku mencari alasan. “Tapi kamu masih SMP, dan belum boleh bawa kendaraan pribadi. Kalo naik motor di sekitar rum…” “Iya. Kalau itu aku juga tahu. Aku akan berangkat ke sekolah dengan angkutan umum kok.” Aku berkata sambil menatap piringku yang masih terisi oleh makanan, sebab aku tak berani menatap wajahnya langsung. Dia marah tidak ya? Aku melakukan hal ini agar tidak merepotkan Pamanku, sebab dia telah memberikan segalanya untukku. Rumah, makan, pakaian juga pendidikan. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Kkrekk!  Aku mendengar deritan kaki kursi, yang ternyata itu kursi Pamanku. Dia beranjak dari kursinya, dan berdiri meninggalkan meja makan.  Dia benar-benar marah!? “Reza… ah, bukan maksudku Paman! Paman marah hanya karena aku tidak ingin diantar Paman lagi ke sekolah? Maaf…”  Aku pun juga ikut beranjak dari kursiku lalu ragu-ragu aku mendekatinya. Khawatir nanti jika aku terkena imbasnya. Dia membalikkan badan dan melihatku sebentar “Ha? Untuk apa aku marah? Aku mau ambil minum, kamu lupa menyediakan minum di meja makan tadi.” Huft.. Ternyata mau ambil minum. Aku kira dia marah. Rasanya aku malu sendiri karena perbuatanku.
“Kamu itu, kalo ada maunya manggil-manggil ‘Paman’. Ya, sudah. Itu terserah kamu kalo mau berangkat tanpa harus diantar. Tapi kamu harus bisa jaga diri, ya?” Tanpa ragu aku mengindahkan perintahnya “Siap Bos!” Sudah 9 tahun lamanya, dan aku bahagia bisa bertemu, juga berada di sisinya. Semoga aku bisa terus bersamanya. Semoga.
***
Rosalia Fernanda… Aku begitu menyayanginya. Seperti aku menyayangi Sinta. Hingga aku takut jika harus kehilangan dia, seperti disaat aku kehilangan Sinta. Begitu banyak hal yang kusembunyikan darinya. Tentangku, juga tentang keluarganya. Tapi, ‘sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium baunya’. Dan benar, itu menjadi kenyataan yang harus kuhadapi saat ini.
            Siang itu ibuku tiba-tiba datang ke rumah. Dia sudah mengetahui keberadaan Rosa yang aku adopsi sejak awal. Ku kira kedatangannya untuk memastikan keadaan Rosa. Tapi tidak untuk hari ini. “Aku ingin menanyakan beberapa hal terkait Rosa. Kamu pasti sudah tahu tentang hal ini. Dan kamu menyembunyikan hal ini dari ibu, Reza. Dan pasti, juga menyembunyikan hal ini dari Rosa” Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, juga tak bisa menentang kebenaran itu.
            Ruang tamu yang tak begitu luas ini membuatku semakin terpojokkan. “Ibu Rosa masih hidup. Tapi kamu mengatakan pada ku kalau Ibu Rosa sudah tiada. Apa maksudmu? Reza, kamu tahu sendirikan? Kita bukan keluarga asli Rosa. Sampai kapan kamu mau menyembunyikan hal ini? Kalau dia sampai tahu, apa jadinya nanti. Dia sudah pasti akan sangat kecewa. Reza? Jangan hanya diam, jelaskan yang sebenarnya!”
            Tiba-tiba saja aku mendengar langkah kaki seseorang. Memasuki rumah, dan berhenti tepat di ruang tamu. “Rosa?” meskipun suara Ibu yang lirih, aku langsung tersadar. Rosa yang sepulang dari sekolah. Tapi dari jam berapa ia pulang?
            Gadis itu terus menatapku tajam. Seakan sedang menatap sesuatu yang ia benci. Wajahnya memerah seakan ia menahan sesuatu yang ingin ia utarakan. “Pembohong!” kata yang pertama ia ucapkan adalah ‘pembohong’. Ya. Aku memang pembohong, penipu, pembual. Rosa beranjak dari tempat ia berdiri, meninggalkanku yang hanya diam dan tak dapat berkutik lagi.“Reza! Kamu mau diam sampai kapan? Kalau saja sejak awal kamu mau menjelaskannya baik-baik dengan Rosa, tidak akan ada kejadian seperti ini. Jelaskan alasanmu padanya. Dia pasti akan mengerti. Karena dia bukan anak kecil lagi.”
            Akupun mengindahkan permintaan Ibu. Ibu benar, aku tidak bisa terus diam seperti ini.  Aku berjalan dengan cepat menuju lantai 2, kamar Rosa. Aku berusaha untuk tetap tenang dan tak mengacaukan keadaan. Tokk, tokk, tokk.. “Rosa?” Tapi tak ada jawab. Aku mencoba membuka pintunya, tapi tak bisa. Dia menguncinya dari dalam? “Rosa. Dengarkan penjelasanku. Ku mohon. Ini yang terakhir. Dan aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Jadi aku mohon dengar penjelasanku.” Walaupun aku baru akan menjelaskan , tapi tetap tak ada jawab.
“Dengar, aku akan menceritakan tentang Ibu mu juga alasan mengapa aku mengadopsimu. Jadi ku mohon, dengarkan. Itu… dulu sekali. Aku, Sinta, Ayahmu juga Ibumu adalah teman dekat. Lebih dari itu, kita sudah seperti keluarga. Dan disaat Ibumu sedang hamil muda, Ayahmu meninggal. Akhirnya, karena keadaan ekonomi juga karena tak ada kerabat yang mau menerima kalian, Aku dan Sinta berinisiatif merawat Ibu mu hingga kau terlahir. Ibumu, dia ingin bisa menghidupimu dengan usahanya sendiri. Dan kemudian pergi meninggalkan rumah kami untuk membangun rumah sendiri, karena dia tak ingin akan lebih merepotkan kami lagi. Tapi, selang beberapa tahun kemudian, dia mengirimkan surat. Dia mengakui belum sanggup untuk menghidupimu dan menitipkanmu di Panti Asuhan, dan memohon pada kami untuk menjemputmu disaat kamu berumur 6 tahun, dan jika dia sudah merasa sanggup untuk menghidupimu, dia akan menjemputmu. Aku dan Sinta saat itu begitu antusias untuk menjemputmu, tapi beberapa bulan sebelum kami akan menjemputmu. Sinta meninggal. Dan aku sendiri. Tapi aku tetap menjalani amanah Sinta untuk merawatmu…”
            Kreeek.. pintu kamar nya pun terbuka. Dia terus menundukkan kepalanya. Aku mencoba menyentuh wajahnya dan menengadahkannya.Tampak wajahnya begitu mendung. Matanya merah bengkak, menandakan dia sehabis menangis. Dia menatapku kosong. “Maafkan aku Rosa… “ Dia lalu menepis tanganku dari wajahnya. Namun tetap menatapku kosong. “Apa aku sebegitu tak bergunanya. Sampai dia membuangku?” Air itu ternyata tak cukup berhenti, setetes, lalu menyusul tetesan lain dari ke-2 pelupuk matanya. “Dia melakukan itu bukan untuk membuangmu. Tapi dia hanya belum mampu untuk membahagiakanmu. Dia sudah berjanji akan menjemputmu kelak. Jadi percayalah.” “Lalu, kenapa kamu menutupi kebenaran ini?”
            “Aku takut. Kalau-kalau kamu tau aku bukan keluargamu. Kamu tidak akan mau tinggal bersamaku.” Aku tak bisa menatapnya. Aku benar-benar pengecut. “Tapi kamu bilang. ‘Aku, sinta dan ibumu sudah seperti keluarga’. Yang berarti aku juga keluargamu. Kan?” Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Tapi tiba-tiba saja, tanpa ku duga. Dia memelukku. “Aku memaafkanmu. Jadi ku mohon Reza! Jangan pernah menutup-nutupi sesuatu dariku, atau berbohong padaku lagi! Aku menyayangimu, seperti aku menyayangi Ibu. Berjanjilah!”
            “Ya. Aku berjanji Rosa. Terima Kasih sudah memaafkanku. Aku juga menyayangimu.”

Karya : Sachi Cira

Sabtu, 15 Maret 2014

Maret 2014 -Dunno

Senyuman itu membuatku ragu.
Ingin ku sapa juga si senyum.
Tetapi pemikiran yang entah dari mana.
Membuatku urung

Ku ingin tersenyum, canda tawa, usil.
Iblis kecil yang mengendap di hati.
Aku begitu egois.
Aku takut.

Ego ku melambung.
Bersama kesombongan.
Mengikuti kerasnya kepalaku.
Aku hanya ingin,

Tidak. Aku harus! Berubah.
...
...

Tapi. Bagaimana?